Menangislah Tapi Jangan Keluarkan Air Mata, Karena Kamu Santri Laki-laki
Bismillah
Sudah lebih seminggu si Sulung, ustadz muda kami, yang baru beberapa bulan mengemban amanat sebagai ustadz pengabdian di Gontor 2, tidak menelepon. Sebenarnya kami memahami kesibukannya tapi dasar yang sedang dilanda kerinduan, sang Bunda iseng ngirim pesan, “Aa sehat?”. Lama tidak dibaca, sampai siang masih belum ada balasan. Ketika sepertinya sudah terbaca tapi belum juga dibalas. Selang beberapa waktu, si Jagoan membalas, “Alhamdulillah Bun. Kegiatan lagi padat-padatnya”, begitu pesan pendek sang Anak, mungkin sebagai apologi karena telat membalas pesan bundanya. Dan kami pun tetiba merasa bersalah karena khawatir mengganggu aktifitasnya. Kemudian Bundanya membalas singkat, “Semangat Nak …!”, kemudian mengikhlaskan putranya untuk fokus pada aktifitasnya.
Eh .. tapi … saat sepertinya pesan belum dibaca, suara telepon berdering. Si sholeh menelepon! Masya Allah, sedikit berbunga hati ini tapi bercampur sedikit khawatir juga. Mudah-mudahan tidak mengganggu aktifitasnya. Kemudian dialog mengalir dari mulut ustadz muda kami ini. Mulai dari basa basi informasi kesehatan dan kegiatan, dan juga laporan ternyata dia tidak bisa ikut ujian 4 mata kuliah (What!!! 😱😱). Ketika ditanyakan, katanya presensi di kelas tidak cukup sebagai syarat mengikuti ujian.
“Aa ada bolos?” tanya kami heran
“Ga Bun, ternyata pas ada kegiatan di Pondok, sistemnya ga auto permitted, lupa kali. Jadi kehitung absen. Aa masih mending 4 mata kuliah, teman Aa malah ada yang 10 mata kuliah.”
“Haahh!!😱😱” Bundanya kaget. Saya yang ikut mendengar karena suara telepon memakai loud speaker alih-alih menyalahkan justru tertawa, “hehehe nikmati A, yang jelas terus semangat. Ini another episode yang Aa hadapi”.
Tapi bukan kisah yang tidak bisa mengikuti ujian yang 4 itu yang membuat fikiran kami tertawan. Telepon yang berdurasi lebih satu jam itu, bahkan diselingi dengan ganti telepon, ada cerita si Aa yang membuat kami sangat bersyukur, bahkan membuat air mata kami menetes.
Bermula dari saya cerita tentang kesedihan saya saat melihat anak-anak seumuran SMP (terlihat secara fisik. Atau mungkin SD!😭). Mereka nongkrong di alun-alun kota, bergaul dan berpacaran berdua-duaan. Sangat miris. Sedih. Pada kemana orang tua mereka!? Apakah orang-orang tua saat ini hanya bisa “produksi” anak kemudian lalai dalam pendidikannya? Terus saya sampaikan ke bujang kami, bahwa tantangannya nanti kedepannya lebih berat. Jika Aa tidak memiliki ilmu, maka, na’udzubillahi min dzaalik, bisa jadi Aa akan membuat generas-generasi setelah Aa jadi seperti itu.
Kemudian si Aa cerita.
“Aa juga punya cerita Yah. Pengalaman yang belum pernah Aa alami saat dulu dulu jadi santri kibar... Ada santri kelas 1. Namanya R (sebut saja seperti itu) dari kota D (diberi inisial aja). Santri ini mwanjaaanya _kebangetan. Tidak mandiri. Sedikit-dikit nangis kalo ada masalah. Sampe orangtuanya harus mengontrak rumah dekat pondok agar si anak bisa sering ketemu dan menyampaikan hajatnya. Santri ini ga bisa belajar mandiri. Belajar harus ditemani. Ada teman akrab Aa, ustadz pengabdian juga sampe jengah karena terus didatangi santri ini. Awal-awal masih bisa menemani belajar. Tapi lama kelamaan terkesan makin tergantung. Dan teman Aa ini berusaha menghindar. Aa yang sering sama teman Aa ini juga tahu sama santri ini.”
“Teman Aa ini mengeluh dan minta saran. Terus kata Aa ‘biar ana tangani, ana punya cara’. Temen-temen Aa yang lain ngasih saran ‘Tegasin aja Mi, dilembutin makin jadi’, malah ada yang ekstrem ‘kerasin aja. Anak laki-laki itu harus kuat’, dan saran-saran lain yang rata-rata berisi harus tegas dan keras. Tapi kata Aa, ana punya cara sendiri.
“Aa lihat R mulai dijauhi. Dia terlihat sendiri. Kelihatannya sedih banget. Terus Aa panggil. Aa tanya kenapa sedih. Terus dia cerita bahwa dia ga bisa belajar sendiri, sedangkan sudah mau ujian. Terus Aa ngomong: ‘R mau berubah ga? Ga enak kan kalo begini terus? Kalo nangis terus masalah selesai? Ga kan? Mau berubah ga? R sayang orangtua kan? Coba bayangkan kira-kira apa yang dirasakan orangtua kalo Antum gini terus? Mau berubah kan? Ayo kalo mau berubah nanti ustadz kasih tau caranya’. R nunduk makin nangis terus jawab, ‘mau Tadz’.
“’Nah sekarang kamu ambil wudhu, sholat dua rakaat. Habis itu berdoa sama Allah dengan sungguh-sungguh. Nangislah sekuat-kuatnya minta kepada Allah bahwa Antum ingin berubah. Antum ingin mandiri. Antum ingin membahagiakan orangtua Antum. Nanti pergi ke orangtua sampaikan agar orangtua Antum pulang aja. Sampaikan bahwa Antum bisa mandiri. Sudah itu Antum coba belajar sendiri. Nanti bisa cek hafalan Antum sama Ana’. Dia menjawab, ‘ya Ustadz’. Terus R kembali ke kamarnya’
“Temen-temen Aa ada yang komentar ‘Percuma Mi, paling bentar lagi dia lupa nasehat Ente. Paling dia nangis lagi’, ‘anak kayak gitu harusnya dikerasin’ bla bla bla mereka komen. Aa santai aja.”
“Eh ga lama setelah dia masuk kamar, dia keluar pake pakaian sholat. Ke masjid. Sholat. Wah Aa rasanya gimana gitu Yah, ada Bahagia. Terus sudah itu Aa lihat dia mulai belajar dengan temannya. Saling tanya jawab. Seneng lihatnya”.
Bundanya mulai meneteskan air mata.
“Eh suatu ketika Aa lihat dia nangis lagi. Wah apa lagi nih. Terus Aa panggil lagi. Aa tanya ‘kenapa Antum nangis lagi? Eh jawabnya ternyata buku yang mau dipelajarinya hilang! Aa sempet bingung mau ngomong apa, tapi kata Aa ‘Oh berarti Allah mendengar doa Antum. Di saat Allah pengen membantu Antum berubah, Allah pasti nguji Antum, benar ga Antum pengen berubah. Jangan-jangan Antum ga serius. Makanya Allah uji lagi’, kata Aa maksain pura-pura bijak, padahal …. hehehe. Terus kata Aa lagi, ‘Antum ambil wudhu lagi. Sholat lagi. Minta sama Allah lagi dengan sungguh-sungguh. Minta agar Allah bantu Antum. Antum pelajari yang lain dulu. Tadi lagi belajar apa?’ dia jawab tafsir. ‘Sudah hafal?’ kata Aa. ‘Belum Tadz’. ‘Hafalin dulu itu. Ada berapa yang harus dihafal?’, ‘lima Tadz’, ‘ya sudah hafalin dulu itu, nanti kalo sudah hafal setor sama ustadz. Kalo hafal semua nanti ustadz beliin Pop Mie. Terus yang hilang laporan sama wali kelas’. ‘Terus pesan ustadz, kamu itu laki-laki. Jangan gampang nangis. Kalo mau nangis dalam hati aja, jangan keluar air mata. Kalau kamu ada masalah biarkan di dalam aja yang sedih, tapi wajah Antum harus terus gembira. Ya Tadz, jawabnya. Terus sudah itu Aa lihat dia seperti semangat.”
“Temen Aa ada yang komen, ‘paling nanti pas liburan dia ga balik lagi’. Aa mah biarin aja dikomen apa aja. Mudah-mudahan dia terus semangat”
Air mata Bundanya makin kencang.
Untuk memecah suasana saya komen,
“Wah keren A, udah cocok Aa jadi bapak’. Si Aa ngakak.
“Aa baru 18 tahun Yah!
“18 tahun umurnya, wajahnya 25 tahun” timpal saya. Si Aa makin ngakak
Si Aa ga tau mungkin, ini mata ayahnya pun berair. Bangga, Bahagia. Rasanya belum banyak Pendidikan yang kami berikan, tapi mendengar ceritanya seperti ini semakin membuncah rasa syukur kepada Allah, karena Allah telah menunjukkan sekolah yang membentuk karakter sebegitunya. Alhamdulillah. Terima kasih Gontor, khususon para Kiai dan para assatidz. Semoga istiqomah pondoknya dan putra kami. Aamiin (RiM)
Comments
Post a Comment