DI BALIK PERHELATAN KREATIFITAS SENI DI GONTOR
Saat menghadapi kepulangan putranya dari pondok pertama kalinya di tahun pertama, seorang wali santri mengalami kegalauan. Jadi timbul pertanyaan di dalam hatinya, apakah salah dia memasukkan anaknya ke Pondok Modern Darussalam Gontor. Pertanyaan ini timbul setelah melihat persembahan para santri untuk wali santri di konsulatnya masing-masing berupa panggung megah pagelaran seni dan kreatifitas. Dalam bayangannya, semestinya sajian yang dipersembahkan oleh santri-santri dari sebuah pondok pesantren itu tidak jauh dari tilawah quran, hasil hafalan, shalawatan atau seandainya pun ada nyanyian tidak jauh dari hadroh atau qasidahan. Tapi yang dia dapati saat itu adalah musik-musik modern, tarian modern, panggung megah, mc Bahasa Inggris (walau ada juga yang berbahasa Arab), dan sajian-sajian modern lainnya. Dan saat kepulangan ternyata bukan satu-satunya ada acara panggung perhelatan seni, masih ada bahkan lebih besar skalanya: Perlombaan vocal Grup, Drama Arena, Panggung Gembira dan lain-lain.
Tapi sang wali santri tidak serta merta mengambil keputusan untuk menarik putranya yang sudah setahun menimba ilmu. Sikap pertama yang dikedepankanya adalah berhusnuzhon terlebih dahulu. Dia tahu nama besar Gontor. Dia tahu diantara alumninya ada banyak orang-orang besar yang diantaranya ulama-ulama besar yang menjadi pemimpin pesantren atau organisasi islam. Dan dia pun tahu dari hasil pencariannya dari berbagai sumber tentang kualitas Kiai-kiai pendiri pondok, dan juga pemimpin-pemimpinnya saat ini. Dan tentulah pola didikan pun telah melalui pertimbangan-pertimbangan matang.
Kemudian sang wali santri itu berusaha mendalami dan mencari tahu dari referensi tertulis maupun dari alumni. Mulai dari Filosofi Pondok yang terangkum dalam Panca Jiwa dan Panca Jangka, motto pondok, dan prinsip pembelajarannya yang menjadikan apa-apa yang dilakukan, dilihat, didengar, dan dirasakan adalah Pendidikan, kemudian pola asuh berjenjang, sistem keorganisasian dan aneka kegiatan santri dan lain-lain, selain yang utama yaitu pendidikan akademis agama dan umum, akhirnya wali santri itu berkesimpulan bahwa ini adalah salah satu sistem pendidikan terbaik yang pernah ia temui.
Disaat sistem pendidikan di Indonesia dikritik karena didominasi oleh sistem yang bersifat pengajaran, sangat minim dari segi pendidikan berbasis pembelajaran yang akan membentuk karakter unggul, bahkan angka-angka menjadi acuan utama kelulusan, maka di Gontor dipenuhi dengan sistem Pendidikan berbasis pembelajaran. Semua yang diihat, didengar dan dirasakan adalah sarana Pendidikan. Sistem pendidikan berbasis pembelajaran inilah yang akan mampu membentuk karakter unggul. Karakter itu terangkum dalam slogan Panca Jiwa, yang bukan hanya sekedar slogan tapi tertanam dalam sistem Pendidikan yang dibuktikan dengan kualitas alumni yang ada.
Lalu, kembali kepada permasalahan pementasan kreatifitas dan seni, sang wali santri menemukan bahwa hal itu sarat dengan Pendidikan. Sebab bagi Gontor, pentas kreatifitas dan seni itu bukan (sekedar) hiburan, tapi metode penggalian, penanaman dan pemupukan karakter-karakter unggul. Dia menemukan poin-poin pelatihan karakter dalam perhelatan tersebut, antara lain:
Baca Juga
1. Kreatifitas
Untuk pementasan seni, santri dituntut kreatifitas. Penampilan saat ini harus beda dengan penampilan sebelumnya.
2. Perencanaan
Kreatifitas yang sudah ditemukan harus dalam proses penggodokan dan perencanaan agar menjadi sajian yang layak ditampilkan. Baik perencanaan acara, sumber dana, dan pelaksanaan saat hari H.
3. Alih ilmu dan pengawasan
Biasanya setiap angkatan itu ada pembimbing dari ustadz alumni yang disebut Musrif. Musrif harus mampu berperan sebagai pembimbing dan menurunkan ilmunya kepada adik-adik didikannya.
4. Kepemimpinan
Masing-masing bagian memiliki penanggung jawab yang harus bisa memimpin anggotanya. Dan kepemimpinan ini pun dipagari oleh aturan-aturan baku yang beresiko sanksi
5. Tanggung jawab
Masing-masing yang terlibat dituntut keseriusan dan tanggung jawab. Bukan sekedar tanggung jawab omong kosong, bahkan bisa ada sanksi akibat keteledoran dari suatu tanggung jawab. Karena setiap perhelatan tidak sedikit mengeluarkan dana, waktu dan tenaga.
6. Kerja sama
Melibatkan banyak orang, banyak bagian, banyak acara pastilah dibutuhkan kerjasama yang apik. Gagal dalam kerjasama maka akan menghasilkan kegagalan
7. Kerja keras, kerja cerdas, kerja optimal
Setiap perhelatan pasti membawa nama baik, maka agar nama angkatan, nama konsulat, nama tim tidak tercoreng maka kesungguhan yang diejawantahkan dalam kerja keras, kerja cerdas dan kerja optimal telah menjadi darah daging para santri
8. Manajerial
Banyak orang, banyak dana, banyak perlengkapan, banyak acara dan banyak bagian, maka dibutuhkan kemampuan manajerial agar tidak tumpeng tindih. Jadi bagi santri yang kebetulan mendapat amanah suatu pimpinan atau penanggungjawab adalah merupakan pengalaman yang sangat berharga dalam pembentukan karakter
9. Disiplin
Tiada kesuksesan tanpa disiplin. Ini sangat diyakini dan sudah tertanam bagi santri Gontor. Hampir dalam semua sisi kehidupan dan kegiatan di Gontor menjadikan disiplin ini sebagai motor, begitupun dalam perhelatan seni.
10. Time management
Semua yang terlibat dalam perhelatan seni, apalagi yang besar seperti Drama Arena atau Panggung Gembira atau kontes-kontes kreatifitas dan seni lainnya, tidak menjadikan ia mendapat dispensasi dalam pelajaran. Beban pelajaran adalah tetap sama. Maka mau tidak mau, santri harus bisa membagi waktu antara kewajiban belajar pelajaran-pelajaran kelas dengan kegiatan-kegiatan kreatifitas dan seni
11. Penggalian bakat
Ajang Kreatifitas dan seni dapat menggali bakat-bakat santri di kepemimpinan, seni, manajerial, skill dan ketrampilan
12. Latihan
Setiap perhelatan merupakan ajang latihan. Latihan dari banyak segi seperti disebutkan di atas
13. Berorientasi kualitas dan totalitas
Setiap perhelatan seni adalah Pendidikan yang dinilai dan diawasi. Jadi setiap kegiatan bukan berlalu sekedar ada kegiatan tetapi juga keinginan yang kuat agar berkualitas
14. Keikhlasan, dan lain-lain
Yang utama dari semua itu adalah pembelajaran keikhlasan. Karena biaya yang besar, tenaga yang banyak dan waktu yang terpakai tidak dibayar dengan materi, melainkan hanya kebanggaan akan proses berharga dalam bagian proses Pendidikan
Baca Juga
Dan mungkin masih banyak poin lain yang belum disampaikan. Dan jika poin-poin diatas diterapkan sesuai keinginan awal sang wali santri, yaitu agar panggung diisi dengan penampilan hafalan, bacaan Quran dan sejenisnya maka justru akan terlihat kurang pas, karena hafalan, bacaan quran dan segi-segi ibadah lain bukan tontonan, bukan untuk dipamerkan dan akan sulit memancing kreatifitas dalam ibadah.
Gontor bukan hanya sekolah untuk belajar agama, tapi sekolah untuk belajar hidup dan kehidupan. Santri (juga tentu alumninya) dituntut untuk tidak sekedar puas hanya menjadi generasi yang hanya dihidupi tapi justru mampu menghidupkan, tidak cuma bisa belajar tapi mampu mengajarkan, siap dipimpin tapi juga siap memimpin, yang mampu menjadikan rintangan sebagai tantangan, mampu menikmati tekanan dan beban menjadi sarana latihan.
Jika ingin anak menjadi jago ilmu-ilmu umum sekolahkan anak di sekolah umum dengan berbagai kursus, jika ingin anak menjadi hafizh Quran, maka sekolahkanlah di pesantren-pesantren tahfizh, tapi jika ingin anak memiliki pemahaman ilmu agama yang baik, menguasai metode mengajarkannya, memiliki peluang menjadi penghafal Quran, memiliki karakter muslim yang unggul (ikhlas, disiplin, Kesederhanaan, berwawasan dll), memiliki keterampilan hidup/lafeskill (kemampuan Bahasa, kepribadian, ulet, pekerja keras, pekerja cerdas, pekerja optimal dll) maka Gontor bisa menjadi pertimbangan utama, insya Allah. Allahu a’lam (RiM)
Comments
Post a Comment