Curhatan Ayah, Wali Santri Guardian Generation. Bikin Baper ...


Lagi bingung mau nulis apa, eh masya Allah, dapat kiriman tulisan dari seorang ayah wali santri yang anaknya saat ini sedang menempuh ujian akhir di Gontor. Curhatan seorang ayah. Bikin BAPER 😭😭😭. Silahkan nikmati dan renungi

....
Nak, ayah ga bisa berkata yg indah, mungkin sulit bagi ayah mengungkapkan ini dengan lisan. Belum keluar suara mungkin air mata yg terlanjur tumpah. Ayah hanya bisa menulis dan berharap suatu saat kau baca.

Nak, rasanya belum lama saat ayah merasakan kegembiraan luar biasa saat kau pertama kali bisa tidur di pangkuan ayah. Sulit ayah cari tandingan kebahagiaan semacam itu. Saat itu ayah merasa benar-benar jadi seorang ayah. Ingatan akan pandangan mata mungil itu, genggaman jari kecil itu di telunjuk seperti air sejuk yang disiramkan saat ayah kembali mengenangnya diantara kepenatan hidup.

Tapi ayah lupa bersyukur saat itu Nak. Karena kurangnya ilmu dan kebijaksanaan, ayah mendidikmu tidak seperti ayah-ayah ideal yang lain. Sebuah penyesalan yg jadi mimpi buruk ayah. Menjadi sebuah ketakutan akankah ada bangga di dirimu akan ayah seperti ini.

Tapi ... ternyata kau tidak berhenti memberi kami kebahagiaan Nak. Sejak TK hingga saat ini tak berhenti kau memberikan rasa bangga kami terhadapmu. Ayah belum pernah mendengar kata-kata kotor dari mulutmu. Pergaulanmu selalu terjaga. Kau senantiasa dipuji tetangga dan handai taulan. Di sekolahpun tak pernah lebih dr rangking 2, azanmu di masjid selalu ditunggu jamaah. Masya Allah. Tapi yakinlah Nak itu bukan prestasi kami. Apalah ilmu kami. Tapi kami yakin Allah menginginkan kebaikan bagimu. Suatu nikmat yang kadang lupa kami syukuri.

Begitupun saat kau memantapkan diri ingin masuk pesantren, di sebuah pesantren yang ratusan kilo dari rumah mengikuti saran ibumu, sementara teman-teman sebayamu berlomba ingin masuk sekolah elit di kota. 

Masih teringat saat ayah mengantarmu ke Gontor untuk pendaftaran. Tidak nampak jerih dan khawatir akan ujian masuk padahal sainganmu teman-teman dari madrasah, atau anak kiai dan ustadz, sedang kau hanya lulusan SD biasa yang pelajaran agama hanya 2 jam per pekan dan bekal ngaji di masjid dekat rumah yang hanya dari maghrib ke isya itupun hanya 3 hari sepekan dan ... dari anak seorang ayah yang bukan alim. Tapi kau lagi-lagi memberi kebanggaan dan kebahagiaan.
Begitupun saat kau pulang liburan pertama dengan badan yang kurus hampir tak terurus, tak ada keluhan terucap bahkan kau membuat adik-adikmu bangga akan kamu: "kami mau seperti Aa". Masya Allah. Nikmat mana lagi yang dapat kami dustakan.

Satu yang kami ingat, Allah mengabulkan harapan kami saat pertama memilih nama untuk mu sebagai doa kami agar engkau memiliki keinginan kuat, saat diamanahi pondok dalam suatu even yang kamu merasa sebenarnya tidak hebat di bidang itu, tapi kau bertekad kuat untuk belajar sehingga kau berhasil mewakili pondok untuk suatu olimpiade. Ah Nak, malu kami pada Allah akan syukur yang kurang atas nikmat dan bahagia yang Dia berikan melalui kamu Nak.
Begitupun saat amanah makin bertambah di pondok, disaat kami menyangka prestasi akademiknya yang biasa-biasa aja itu akan turun karena itu, kembali kau memberi kebahagiaan akan nilai yang justru naik. 

Dan tangisan ayah dan bunda pecah saat kau meralat cita-citamu. Dulu kau sangat tertarik dengan arsitektur, bangunan dan tata kota, tapi kini setelah kau belajar pondasi agama kau memantapkan diri ingin menjadi ahli agama. Suatu cita-cita yang telah hilang dua generasi dari keluarga kita. Jika Allah kabulkan dan muluskan cita-cita itu mungkin Buyutmu, ulama terakhir di keluarga kita akan menangis bahagia di alam sana. Terima kasih Nak.

Tapi jalan bukanlah mudah, Kau saat ini masih menempuh ujian akhir di Pondok, masih panjang jalan yang akan dilalui, masih banyak ujian yang harus dihadapi, tapi minimal, jika Allah mengizinkan, beberapa bulan lagi akan ada seseorang yang dipanggil ustadz dikeluarga kita, ustadz sungguhan. Bukan kata ustadz yang disematkan orang kepada ayah hanya karena ayah berjenggot, yang ayah sungguh jauh dan malu menyandang sematan itu. 
Kau masih tidak berhenti membuat kami bangga Nak.

Tapi ...

Kekhawatiran itu belum hilang, disaat ilmumu makin tinggi, meninggalkan ilmu ayah yang tidak ada apa-apanya, kemudian apa yang bisa ayah jadikan buat kebanggaanmu terhadap ayah Nak. 

...
Pelajaran utama bagi kita, Ayah: disaat kita mem-push anak, memotivasi anak untuk jadi kebanggaan, untuk berprestasi, sudahkah kita memiliki sesuatu yang akan dibanggakan anak? Harta dunia? Kedudukan? Di saat anak kita makin dalam pelajaran agamanya, urusan dunia itu bukan lagi suatu kebanggaan. Yang tersisa bagi kita hanya ...... upaya akhir untuk memperbaiki diri, melayakan diri untuk menjadi ayah seorang Besar, seorang yang insya Allah menjadi besar karena ilmu dan amalnya. Ya Allah ampunilah kami. aamiin

Ayah seorang Guardian Generation yang tidak mau disebut nama.

Comments