"Wisdom Kembali ke Kampung Damai": Reuni PERAK Clavisegypt 593-694
Betapa bahagianya yang bisa pulang kampung

Belum lagi masing-masing harus mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan biaya pribadi untuk memenuhi kebutuhan lainya seperti transportasi dan akomodasi. Ada yang harus merogoh kocek hingga jutaan rupiah untuk bisa naik pesawat. Ada yang harus duduk manis berhari-hari dari ujung Sumatera untuk bisa sampai ke Darussalam. Ada sekelompok panita yang sudah berbulan-bulan bertemu dan berdiskusi untuk mensukseskan acara 3 hari ini. Begitu seterusnya, ada beragam bentuk pengorbanan yang masing-masing harus lakukan.
Hal ini pun bukan hanya sekali ini dilakukan. Pertemuan di tahun 2019, adalah pertemuan lima tahunan ketiga yang sudah mereka lakukan. Pada tahun 2009, adalah reuni pertama yang berhasil diwujudkan. Kemudian 2015 lalu, semua memenuhi datang untuk memenuhi undangan reuni kedua. Reuni kali ini adalah yang ketiga kalinya. Reuni yang terasa lebih spesial karena sudah memasuki usia 25 tahun yang disebut sebagai reuni perak dengan tema “25 Tahun Merajut Ukhuwwah, Membangun Ummah”.
Mengapa semua seolah dilakukan begitu ringan?
Mengapa semua dijalankan penuh suka cita dan riang gembira?
Mengapa pengorbanan yang begitu banyak tidak lagi terasa besar pada mereka?
Mengapa semua dijalankan penuh suka cita dan riang gembira?
Mengapa pengorbanan yang begitu banyak tidak lagi terasa besar pada mereka?
Ini semua begitu mudah terwujud karena ada satu ingatan kolektif yang sangat kuat, betapa besarnya jasa sang ibu kepada kami, anak-anaknya. Apa yang mereka korbankan hari ini, tidak seujung kuku dari jasa sang ibu yang begitu besar. Rasa lelah perjalanan berhari-hari tidak seberapa jika dibandingkan dengan kasih sayang yang sudah ditanamkan Bunda tercinta kepada anak-anaknya. Sungguh semua pengorbanan yang kelihatannya besar, terasa begitu kecil melihat ketulusan dan keikhlasan sang Ibu mengayomi anak-anaknya dulu. Sang ibu begitu rendah hati, sederhana, tulus, dan tak mengharapkan ucapan terimakasih pun dari kami, anak-anaknya. Seolah tahun 1994 lalu, sang Ibu melepaskan kami dengan melambaikan tangan serasa mengatakan “Selamat jalan anak-anak-ku. Biarlah kami tetap di sini”. Saat itu tak pernah terbayangkan, apa yang kami bisa perbuat. Sungguh apa yang hari ini dikorbankan tak sebanding dengan kebesaran jiwamu mendidik kami.
Ada ingatan yang kuat akan betapa besarnya jasa sang ibu.
Ada rasa ingin mensyukuri jasa-jasa besar sang ibu.
Ada rasa ingin mensyukuri jasa-jasa besar sang ibu.
Itulah yang pernah dilakukan Sang Teladan Rasulullah, yang shalatnya begitu lama hingga berbekas di kaki beliau. Mengapa begitu ringan dilakukan, karena rasa syukur yang begitu dalam atas anugerah Allah yang begitu besar. Dalam hadits Bukhari Muslim, Rasulullah mengatakan satu kalimat yang mulia, “_Afalaa uhibbu an akuuna ‘abdan syakuuran_!” (apakah aku tidak ingin menjadi hamba-Nya yang pandai bersyukur).
Jika ingatan akan besarnya anugerah Allah, dan dorongan bersyukur atas nikmat-Nya yang menjadi motivasi beramal, maka semua kebaikan yang dilakukan menjadi lebih ringan, bahkan penuh dengan senyuman saat melakukannya. Itulah yang menjadi narasi saat Allah memerintahkan kita untuk berqurban dalam surat al-Kautsar.
Jika jasa besar yang kita ingat dari sang Bunda, maka semua menjadi tidak berat.
Jika rasa syukur yang menjadi motivasi untuk melakukan sesuatu, maka semua menjadi ringan.
Jika rasa ingin berterimakasih yang menjadi dorongan untuk berbuat, maka semua dilakukan penuh dengan senyuman yang sumringah..
Jika rasa syukur yang menjadi motivasi untuk melakukan sesuatu, maka semua menjadi ringan.
Jika rasa ingin berterimakasih yang menjadi dorongan untuk berbuat, maka semua dilakukan penuh dengan senyuman yang sumringah..
Terimakasih Ibu.
Semoga Allah mengumpulkan kita kembali,
di syurga-Nya nanti.
di syurga-Nya nanti.
Katabahu : ust. a. ghoni egypt'94
Nb . Jepretan hari pertama reuni
Dan sebagian jepretan walsan alumni94 saat bln syawwal (Sumber)
Dan sebagian jepretan walsan alumni94 saat bln syawwal (Sumber)
Comments
Post a Comment