Saat Micro Teaching di Bangku Kuliah Menjadi Tidak ada Apa-apanya Dibanding Amaliyatul Tadris di Gontor
Saya (Penulis: Ustadz Oky Rahmatullah) berbincang dengan seorang lulusan S-2 di salah satu universitas di Bandung. Beliau bercerita tentang unik dan asyiknya micro teaching (mengajar) yang beliau alami di bangku kuliah.Mengajar sekaligus diawasi oleh teman-temannya, lalu dievaluasi bersama-sama sebagai bahan bahasan pada saat diskusi nanti. Beliau bercerita berapi-api, karena mungkin menganggap saya belum tahu hal seperti itu.
Sesat setelah beliau selesai, giliran saya cerita pengalaman saya ketika dulu menjalani masaAmaliyah Tadris, micro teaching ala gontor. Kurang lebih 3 hari sebelum hari H, kita baru diberi tahu kelas apa, tempat, mata pelajaran, dan nama ustadz pembimbing amaliyah.
Dalam waktu 2 hari itu kita diminta untuk menghubungi pengajar asli-kelas yang akan menjadi tempat praktik, untuk bertanya materi apa yang harus diberikan, kemudian membuat persiapan mengajar selengka-lengkapnya.
Misalnya, Anda diberi materi Bahasa Inggris di kelas 4J. Segera mungkin langsung cari tahu dan temui pengajar/ustadz yang mengajarkan materi tersebut di kelas tersebut.
Perlu diketahui, di Pondok Gontor setiap guru harus menulis persiapan mengajar (i’dad) setiap akan masuk kelas dan harus dilaporkan. Khusus i’dad Amaliyatu Tadris ditulis di atas kertas hvs. Tidak hanya materi yang akan diajarkan, tapi setiap gerak-gerik kita juga harus dimasukkan di dalamnya, misalnya:
“Saya masuk ke dalam ruangan dengan kaki kanan, ditengah kelas saya berhenti dan mengucapkan salam. Setelah mendengar jawaban dari para santri, saya letakkan buku-buku dan alat bantu mengajar di atas meja… ” dst.
Menariknya, teks i’dad itu harus menggunakan bahasa Arab atau Inggris i’dad dan ditulis menggunakan tangan, bukan komputer.
Setelah selesai, harus segera diserahkan pada ustadz pembimbing untuk diperiksa dan dikoreksi, lalu diperbaiki lagi (tulis ulang), diajukan lagi.
Setelah mendapat signature pembimbing, umumnya kita uji cobakan semua yang telah ditulis dihadapan teman-teman, agar tidak grogi ketika hari H micro teaching.
Setiap yang kita sampaikan harus kita tulis lengkap, cara, metode, pertanyaan, dan jawabannya disiapkan seluruhnya. Diusahakan kita tidak membuka persiapan kita ketika mengajar meskipun itu dibolehkan.
Dihadapan puluhan guru senior, dan ratusan teman-teman kelas enam, harus mengajar kelas yang kita sama sekali tidak diketahui kemampuannya. Sebab, santri yang akan melaksanakan Amaliyah tidak boleh berhubungan dengan santri yang akan diajar.
Micro teaching pondok pesantren modern
Ratusan mata itu menatap sang pengajar dengan mimik muka serius, meneliti semua apa yang dia ajarkan, kalau ada satu saja kesalahan akan langsung di tulis sebagai kritik kepadanya. Kawan saya terkejut bukan kepalang, dia bilang kalau saya diminta seperti itu pasti tidak sanggup, dan mungkin harus berfikir ulang untuk praktek mengajar …
Saya bilang lagi, itu belum selesai…karena setelah itu ada “Darsu An-Naqdi” (Evaluasi Proses Pengajaran) dimana kritik dan kesalahan kita akan dibuka di hadapan para Guru dan teman-teman, dengan 4 kriteria kritik:
1. Thariqah (Metode Mengajar)
Praktik Mengajar pondok modern Gontor |
الطريقة أهم من المادة
Bahkan kalau kita bertanya “Hari ini tanggal berapa?” sebelum bertanya “Apa Pelajaran kita?” sudah dihitung sebagai kesalahan “Thariqah” (metode mangajar). Karena murid belum sepenuhnya memberikan perhatian kepada pelajaran, tapi sudah ditanya macam-macam. Contoh lain kesalahan metode, menunjuk santri yang itu-itu saja untuk menjawab pertanyaan, ini juga salah.
2. Maadah (Materi Micro Teaching)
Foto Tarbiyah Amaliyah Gontor Putri |
3. Ahwalu Almudarris(Kepribadian Guru)
Pondok pesantren moden gontor ujian |
Apakah guru hanya memberi pertanyaan kepada satu orang santri saja? Apakah guru membiarkan murid yang tidur? Apakah Guru menghapus papan tulis denagan tangan dan bukan dengan penghapus?
Apakah wajah pengajar tidak tersenyum? Apakah pengajar menggunakan persiapan mengajarnya atau tidak? Apakah guru mengajar tepat waktu, masuk dan keluarnya? Apakah pengajar memberi pinjaman pena kepada santri yang tidak membawa bolpoin?
Apakah guru mengusap keringat menggunakan tisu atau sapu tangan? Apakah guru melihat jam tangan dihadapan santri?Apakah guru bisa menjawab pertanyaan siswa diluar pertanyaan yang ada pada lembar persiapannya?
Setumpuk poin ini dan lainnya harus diperhatikan oleh sang guru, karena menjadi bahan koreksian.
4. Lughatul Mudarris (Bahasa Guru)
Contoh Micro Teaching di GontorIni kesalahan yang pasti dimiliki oleh semua Guru. Jadi tentu saja yang paling banyak adalah kesalahan-kesalahan seperti ini. Walaupun bukan kesalahan fatal, karena bisa jadi dipengaruhi oleh dialeg masing-masing guru, namun tetap jadi bahan koreksian dan penilaian.
Misalnya pengucapan kata “quuluu”(katakan) tapi diucapkan dengan kata “kuluu” (makan), kesalahannya sedikit, hanya kurang panjang sedikit, lagi pula ini bukan pelajaran Quran/Tajwid, mestinya “qof” dan “kaf” tidak terlalu dipermasalahkan. Di lain sisi, para murid juga paham terhadap konteksnya. Tapi, tetap saja jadi pertimbangan.
Setelah panjang lebar dia saya beri keterangan tentang apa itu Amaliyah Tadris dan bagaimana prakitikumnya. Kemudian dia berkata,
“Micro Teaching saya ternyata tidak ada apa-apanya dibanding Amaliyah sampeyan mas… Kapan ada Amaliyah Tadris di Gontor?? Saya harus menyaksikannya…!!”
Sayang. Amaliyah baru saja berlalu. Mungkin tahun depan pak. Semoga kita bisa bertemu lagi.
Ujian Pesantren Gontor Putra
Dulu, saat awal-awal naik kelas 6 ada perkumpulan bersama direktur KMI Gontor, KH. Masyhudi Subari. Terus terang, saat itu saya agak sedikit kaget. Beliau menyatakan dan mengingatkan, “Tarbiyah Amaliyah pasti diujikan dan harus dilaksanakan.” Padahal saat itu saya berpikir “mudah-mudahan tahun ini tidak ada Amaliyah.”
Bukannya kami tidak bisa mengajar. Sejak kelas 5, kami sudah mengajar secara resmi. Bahkan ada yang sudah mengajar sejak kelas 3 di komunitas dan kursus.
Entah mengapa begitu berat rasanya, degdegan dsb. Bahkan, yang sudah-sudah saya pernah bertemu alumni Gontor, mereka kangen dan rindu untuk kembali ke masa lalu menjalani pendidikan di pondok. Tapi mereka juga tidak mau merakan ujian akhir kelas 6, yang diantaranya adalah micro teaching ala pesantren. (Sumber)
Comments
Post a Comment