Begini Ibu-ibu Ulama-ulama Besar Melepas Anaknya Menuntut Ilmu: Inspirasi Wali Santri


Setiap saat dimulainya tahun ajaran baru di pondok, tidak sedikit akan timbul kegundahan, rasa kehilangan, terbayang-bayang akan putra-putrinya akan menghinggapi para wali santri terutama pada ibu-ibu. Beberapa mengekspresikannya di media sosial dan grup-grup chatting dengan ungkapan hati penuh kerinduan dan untaian doa puitis, terutama wali santri yang baru pertama kali melepas putra/putrinya.

Perasan campur aduk, harus tega, sedih, bahagia, menahan tangis, lamunan semua terkumpul jadi satu terutama bagi seorang ibu. Kegundahan hati ini adalah suatu bentuk luapan perasaan yang wajar bagi kelembutan perasaan seorang wanita. Kedekatan mulai dari dalam kandungan, menyusui, perawatan dari anak yang tak bisa apa-apa, kemudian mengikuti sedikit demi sedikit perkembangan anak, berbicara, berjalan, membaca, belajar dan lain-lain dengan cinta dan keikhlasan kemudian "berpisah" sementara jauh dari pandangan, jauh dari dekapan yang ini pun harus dilakukan atas dasar cinta dan keikhlasan juga jika tidak ingin "tersiksa" lebih lanjut.

Saya percaya ini adalah fitrah yang hampir terjadi pada semua ibu-ibu di seluruh dunia, dari dulu hingga sekarang. Tapi ada beberapa yang mampu memendam perasaannya itu dengan harapan agar anak-anaknya semangat dalam menuntut ilmu. Mereka memahami bahwa kesedihan yang berterusan akan menjadi beban bagi putra-putri di tempat yang jauh. Karena kontak batin yang terjalin antara mereka.

Demikian juga yang dilakukan ibu dari ulama-ulama besar yang kita kenal keluasan ilmunya. Semoga dari beberapa contoh di bawah ini bisa menjadi inspirasi semua wali santri.

Baca Juga






Petama: Ibunda Sufyan ats Tsauri

Sufyan ats-Tsaury adalah tokoh besar tabi’at-tabi’in. Ia seorang fakih yang disebut dengan amirul mukminin fil hadits (pemimpin umat Islam dalam hadits Nabi shalallahu 'alaihi wassalam). Di balik ulama besar generasi ketiga ini, ada seorang ibu yang shalihah, ibu yang mendidik dan menginfakkan waktu untuk membimbingnya.

Sufyan mengisahkan, “Saat aku berencana serius belajar, aku bergumam, ‘Ya Rab, aku harus punya penghasilan (untuk modal belajar pen.)’. Sementara kulihat ilmu itu pergi dan menghilang. Apakah kuurungkan saja keinginan belajar. Aku memohon kepada Allah agar Dia (Yang Maha Pemberi rezeki) mencukupiku”.

Beliau merasa bimbang jika menuntut ilmu, maka butuh modal dan bekal. Jika mencari modal dan bekal tidak bisa fokus belajar. Karena ilmu itu mudah pergi dan menghilang.

Datanglah pertolongan Allah melalui ibunya. Ibunya berkata, “Wahai Sufyan anakku, belajarlah..aku yang akan menanggungmu dengan usaha memintalku”. Ibunya menyemangati, menasihati, dan mewasiatinya agar semangat menggapai pengetahuan.

Di antara ucapan ibunya adalah “Anakku, jika engkau menulis 10 huruf, lihatlah! Apakah kau jumpai dalam dirimu bertambah rasa takutmu (kepada Allah), kelemah-lembutanmu, dan ketenanganmu?Jika tidak kau dapati hal itu, ketahuilah ilmu yang kau catat berakibat buruk bagimu. Ia tidak bermanfaat untukmu”.

Inilah di antara bentuk perjuangan ibunda Sufyan ats-Tausry. Semoga Allah merahmatinya.

Kedua: Ibunda Imam Syafi'i
Ayah Imam asy-Syafi’i wafat dalam usia muda. Ibunyalah yang membesarkan, mendidik, dan memperhatikannya hingga kemudian Muhammad bin Idris asy-Syafi’i menjadi seorang imam besar. Ibunya membawa Muhammad kecil hijrah dari Gaza menuju Mekah.

Di Mekah, ia mempelajari Alquran dan berhasil menghafalkannya saat berusia 7 tahun. Kemudian sang ibu mengirim anaknya ke pedesaan yang bahasa Arabnya masih murni. Sehingga bahasa Arab pemuda Quraisy ini pun jadi tertata dan fasih.

Setelah itu, ibunya memperhatikannya agar bisa berkuda dan memanah. Jadilah ia seorang pemanah ulung. 100 anak panah pernah ia muntahkan dari busurnya, tak satu pun meleset dari sasaran.

Dengan taufik dari Allah ﷻ kemudian kecerdasan dan kedalaman pemahamannya, saat beliau baru berusia 15 tahun, Imam asy-Syafi’i sudah diizinkan Imam Malik untuk berfatwa. Hal itu tentu tidak terlepas dari peranan ibunya yang merupakan seorang muslimah yang cerdas dan pelajar ilmu agama.

Imam asy-Sayfi’i bercerita tentang masa kecilnya, “Aku adalah seorang anak yatim. Ibukulah yang mengasuhku. Namun ia tidak memiliki biaya untuk pendidikanku… … aku menghafal Alquran saat berusia 7 tahun. Dan menghafal (kitab) al-Muwaththa saat berusia 10 tahun. Setelah menyempurnakan hafalan Alquranku, aku masuk ke masjid,duduk di majelisnya para ulama. Kuhafalkan hadits atau suatu permasalahan. Keadaan kami di masyarakat berbeda, aku tidak memiliki uang untuk membeli kertas. Aku pun menjadikan tulang sebagai tempat menulis”.

Pergilah anakku,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca, “Allah bersamamu. Insya Allah engkau akan menjadi bintang paling gemerlap di kemudian hari. Pergilah… ibu telah ridha melepasmu. Ingatlah bahwa Allah adalah sebaik-baik penolong
Walaupun memiliki keterbatasan materi, ibu Imam asy-Syafi’i tetap memberi perhatian luar biasa terhadap pendidikan anaknya. Saat akan melepas putranya untuk menuntut ilmu di negeri yang jauh keesokan di pagi hari, ibunya memandangnya sebagai pemuda yang remaja, namun tekadnya menuntut ilmu demikian besar melampaui orang-orang dewasa. Hafal Al Qur’an dan ribuan hadits di usia itu, baginya baru permulaan.

Malam itu sebelum putranya berangkat, sang ibu yang biasa mendoakannya kini berdoa lebih khusyu’ lagi. Aura perpisahan dengan putra tercinta demikian hebat terasa, tetapi demi agama ia tegar melepas kepergian Asy Syafi’i. Di keheningan malam, ia memanjatkan doa:

Ya Allah, Rabb yang menguasai seluruh alam. Anakkku ini akan meninggalkanku untuk perjalanan jauh demi mencari ridhaMu. Aku rela melepasnya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu. Maka hamba memohon kepadaMu ya Allah… mudahkanlah urusannya. Lindungilah ia, panjangkanlah umurnya agar aku bisa melihatnya nanti ketika ia pulang dengan dada yang penuh dengan ilmu-Mu.”

Doa yang khusyu’ dan penuh harap itu demikian mengharukan hingga membuatnya berlinang air mata. Namun yang tak kalah mengharukan adalah detik-detik ketika ia melepas putranya.

Pergilah anakku,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca, “Allah bersamamu. Insya Allah engkau akan menjadi bintang paling gemerlap di kemudian hari. Pergilah… ibu telah ridha melepasmu. Ingatlah bahwa Allah adalah sebaik-baik penolong


Kemudian ia mengantarkanku (untuk belajar) kepada Rabi’ah bin Abi Abdirrahman. Ibuku mengatakan, ‘Anakku, datanglah ke majelisnya Rabi’ah.Pelajari akhlak dan adabnya sebelum engkau mempelajari hadits dan fikih darinya’.”


Ketiga: Ibunda Imam Malik bin Anas
Siapa yang tidak kenal dengan Imam Malik? Keilmuannya yang dalam yang menjadi guru bagi banyak ulama-ulama setelahnya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Uwais, “Aku mendengar pamanku, Malik bin Anas, bercerita, ‘Dulu, sewaktu aku kecil, ibuku biasa memakaikanku pakaian dan mengenakan imamah untukku. Kemudian ia mengantarkanku (untuk belajar) kepada Rabi’ah bin Abi Abdirrahman. Ibuku mengatakan, ‘Anakku, datanglah ke majelisnya Rabi’ah.Pelajari akhlak dan adabnya sebelum engkau mempelajari hadits dan fikih darinya’.”

Baca Juga





Keempat: Ibunda Imam Ahmad bin Hanbal
Ibu Imam Ahmad bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul Malik. Ayahnya wafat di usia muda, 30 tahun. Ibunya pun hidup menjanda dan enggan menikah lagi, walaupun usianya belum mencapai 30 tahun.Ia hanya ingin fokus memenuhi kehidupannya untuk anaknya. Memperhatikan pendidikannya. Dan memotivasinya untuk terus menuntut ilmu kepada ulama-ulama saat itu.

Buah usahanya adalah yang kita tahu saat ini.Imam Ahmad menjadi salah seorang imam besar bagi kaum muslimin.ia adalah imam madzhab yang empat. Semoga Allah merahmati ibunda Imam Ahmad.

Kelima: Ibunda Imam Bukhari
Imam al-Bukhari tumbuh besar sebagai seorang yatim. Ibunyalah yang mengasuhnya. Ibunya mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik. Mengurus keperluannya, mendoakannya, dan memotivasinya untuk belajar dan berbuat baik.

Saat berusia 16 tahun, ibunya mengajak Imam al-Bukhari bersafar ke Mekah.Kemudian meninggalkan putranya di negeri haram tersebut. Tujuannya agar sang anak dapat menimba ilmu dari para ulama Mekah. Dari hasil bimbingan dan perhatian ibunya, jadilah Imam al-Bukhari seperti yang kita kenal saat ini.Seorang ulama yang gurunya pernah mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih hebat darinya (dalam ilmu hadits)”. Masya Allah

Wahai anakku, jangan kau sangka, engkau berada di sisiku itu lebih aku cintai dibanding kedekatanmu pada agama, berkhidmat untuk Islam dan kaum muslimin walaupun kau berada di penjuru negeri. Anakku, ridhaku kepadamu berbanding lurus dengan apa yang kau persembahkan untuk agamamu dan kaum muslimin.

Keenam: Ibunda Ibnu Taimiyah
Demi Allah, seperti inilah caraku mendidikmu. Aku nadzarkan dirimu untuk berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin. Aku didik engkau di atas syariat agama. Wahai anakku, jangan kau sangka, engkau berada di sisiku itu lebih aku cintai dibanding kedekatanmu pada agama, berkhidmat untuk Islam dan kaum muslimin walaupun kau berada di penjuru negeri. Anakku, ridhaku kepadamu berbanding lurus dengan apa yang kau persembahkan untuk agamamu dan kaum muslimin. Sungguh –wahai ananda-, di hadapan Allah kelak aku tidak akan menanyakan keadaanmu, karena aku tahu dimana dirimu dan dalam keadaan seperti apa engkau. Yang akan kutanyakan dihadapan Allah kelak tentangmu –wahai Ahmad- sejauh mana khidmatmu kepada agama Allah dan saudara-saudaramu kaum muslimin”.

Inilah surat yang ditulis ibu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kepada dirinya, setelah beliau memohon izin kepada sang ibu untuk tetap tinggal di Mesir. Masya Allah, kecintaannya kepada anak yang telah menjadi darah dagingnya tidak melebihi kecintaannya kepada Allah.

Surat ini memberikan kesan yang cukup mendalam kepada kita tentang bagaimana sosok ibunda Ibnu Taimiyah. Wanita shalihah yang berorientasi akhirat. Wanita kuat yang lebih senang anaknya bermanfaat bagi orang banyak ketimbang untuk dirinya sendiri.Wanita cerdas yang menjadikan anaknya investasi untuk kehidupan setelah kematian.

Ibunda Ibnu Taimiyah memberikan kesan bahwa ia adalah wanita yang teguh jiwa dan hatinya. Semoga Allah merahmatinya.

Baca Juga





Ketujuh: Ibunda Sultan Muhammad al Fatih

Ibunda Muhammad al Fatih sangat memperhatikan pendidikan putranya. Setelah shalat subuh di masa kecilnya, Sang ibu mengajarinya sendiri Muhammad al Fatih tentang geografi, garis batas wilayah Konstantinopel. Ia berkata, “Engkau –wahai Muhammad- akan membebaskan wilayah ini. Namamu adalah Muhammad sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ. Muhammad kecil pun bertanya, “Bagaimana aku bisa membebaskan wilayah sebesar itu wahai ibu?” “Dengan Alquran, kekuatan, persenjataan, dan mencintai manusia”, jawab sang ibu penuh hikmat.

Kemudian ibunya mengirim Al Fatih remaja belajar kepada seorang ulama bernama Ahmad bin Ismail Al Kurani. Disini Al Fatih merasakan didikan sang ulama yang tegas. Tidak sedikit Al Fatih menerima sabetan rotan sang ulama dalam menerima pendidikan.

Itulah ibu Muhammad al-Fatih, mendidik anaknya di waktu berkah pagi hari.Dia tidak membiarkan anaknya terbiasa dengan tidur di waktu pagi.Ia lakukan sesuatu yang menarik perhatian sang anak. Memotivasinya dengan sesuatu yang besar dengan dasar agama dan kasih sayang, dan dengan keikhlasan melepaskannya belajar pada ulama, merelakan anaknya hidup tidak selalu dalam pandangannya. Semoga Allah merahmati Ibunda Muhammad al Fatih.

 Al Fatih merasakan didikan sang ulama yang tegas. Tidak sedikit Al Fatih menerima sabetan rotan sang ulama dalam menerima pendidikan.

Kedelapan: Ibunda Trimurti Gontor (Kiai Sahal, Kiai Zarkasih, Kiai Fananie)
Ketika Raden Santoso Anom Besari, ayahanda Trimurti wafat, tidak ada saudara-saudaranya yang siap menggantikan dan mempertahankan keberadaan Pondok Gontor lama. Saat itulah pamor Pondok Gontor Lama mulai sedikit demi sedikit surut.
Tetapi Ibunda Trimurti, Nyai Santoso, bekerja keras mendidik putra-putrinya agar dapat meneruskan perjuangan menghidupkan kembali Pondok Gontor. Beliau mengirim putra-putranya ke beberapa pondok pesantren dan pendidikan modern. Harapannya yang besar agar putra-putranya berkhidmat dalam da'wah terutama menghidupkan kembali pesantren Gontor lama lebih besar dari pada keinginan alamiah seorang ibu yang ingin senantiasa dekat dengan anak.

Imam Zarkasyih muda dikirim ke Pesantren Josari, Pesantren Joresan, dan pesantren Tegalsari. Juga di sekolah Ongkoloro dan melanjutkan studinya di Pesantren Jamsarem Solo, pada waktu yang sama ia juga menuntut ilmu di sekolah Manbaul Ulum, sekolah Arabiyah Adabiyah kemudian meneruskan ke Kweekschool di Padang Panjang.

Baca Juga





Kiai Ahmad Sahal muda menuntut ilmu Sekolah  Rendah (Vervolk School) atau Sekolah  Ongko Loro. Setamat  Sekolah   Rendah   beliau  mondok di berbagai  pondok pesantren diantarnya adalah pondok  pesantren  Kauman Ponorogo, pondok  Joresan Ponorogo, pondok Josari  Ponorogo, Pondok Durisawo  Ponorogo, Siwalan Panji Sidoarjo, Pondok Termas Pacitan. Setelah  menjelajah  berbagai  kitab di berbagai Pondok pesantren, beliau  masuk  ke sekolah Belanda Algemeene Nederlandsch Verbon  ( Sekolah pegawai di Zaman penjajahan Belanda), tahun 1919-1921.

Kiai Fananie muda masuk Sekolah Dasar Ongko Loro Jetis Ponorogo, sementara itu mondok di Pondok Pesantren Josari Ponorogo, kemudian ke Termas Pacitan, lalu ke Siwalan Panji Sidoarjo. Dari sekolah Ongko Loro ia pindah ke sekolah dasar Hollandshe Inlander School (HIS), kemudian melanjutkan ke Kweekschool (Sekolah Guru) di Padang. Sesudah tamat sekolah guru ia masuk Leider School (Sekolah Pemimpin) di Palembang. Selain itu, ia pernah belajar pada Pendidikan Jurnalistik dan Tabligh School (Madrasah Muballighin III) di Yogyakarta, dan selesai pada tahun 1930.

Pengorbanan dan keikhlasan seorang ibunda Trimurti inilah yang kemudian dicatat sejarah dengan berdirinya Pondok Modern Darusalam Gontor, yang dari pondok ini juga kemudian melahirkan orang-orang besar.

ooo000ooo

Masih banyak kisah perjuangan ibu-ibu ulama-ulama dan orang-orang besar lainnya, tapi semoga sedikit gambaran dari para Ibunda diatas, bisa menginspirasi kita, para wali santri, khususnya para Ibu dan juga menjadi teladan dalam perjuangan keikhlasan seorang ibu untuk melepas putra-putrinya sebagai mujahid ilmu.

Semoga bermanfaat (RiM, dari berbagai sumber)

Comments