Polesan Sang Ustadz, Sang Motivator Ulung: Kisah Wali Santri


Ini sepenggal kisah pengalaman kami dan putra kami yang sungguh membawa banyak pelajaran dan hikmah bagi kami. Tidaklah disampaikan melainkan berharap semoga dapat membawa manfaat sebagai inspirasi dan motivasi bagi wali santri lain dan juga merawat kecintaan dan kebanggaan terhadap Gontor yang telah mendidik putra-putri kita.

Putra kami bukan seperti kebanyakan santri lain yang telah memiliki bekal ilmu agama memadai sebelum memasuki pondok, bisa jadi karena mereka memiliki orangtua atau saudara yang Kiai, ustadz, atau pernah mengenyam pendidikan madrasah atau sekolah islam terpadu. Putra kami hanya lulusan SD negeri, yang orang tuanya bukan kiai atau ustadz. Dan pengajian di dekat masjid pun hanya 3 kali sepekan itu pun dengan ustadz yang kadang hadir kadang tidak.

Tapi karena keinginan yang besar untuk masuk pesantren, yang terinspirasi dari Novel Negeri 5 Menara, dia sungguh-sungguh mempersiapkan diri dibantu ibunya –alhamdulillah dia memiliki ibu yang luar biasa- dan beberapa kali dibantu tetangga yang pernah mengenyam pendidikan pesantren (hanya 3 atau 4 kali pertemuan).

Akhirnya, alhamdulillah dia masuk Gontor di kelas 1D. Kalau diurut dari atas mungkin memiliki nilai ujian di peringkat 81-120 dari sekitar 600 santri baru. Alhamdulillah, lumayan. Tapi ... mungkin karena memasuki dunia baru dan basic yang kurang, saat kelas 2 dia terdampar ke kelas 2i. Saat kelas 2 dia belajar sungguh-sungguh, mengerahkan segala kemampuan, berbekal motivasi dari orangtua, berharap saat kenaikan bisa naik positif.

Tibalah saat pengumuman. Saat itu liburan di bulan puasa. Setelah meyakini orangtuanya dan saudaranya bahwa dia akan naik positif, dia mencari-cari informasi kenaikan dari ustadz atau temannya via FB. Tapi ternyata ... dia masih naik percobaan. Dia sangat terpukul. Keyakinannya runtuh. Dia berkurung di kamar, menangis. Padahal kami tidak membebani apapun. Tidaklah terlalu penting bagi kami apakah dia naik positif atau percobaan. Bagi kami dia sudah berusaha sungguh-sungguh sudah merupakan kebahagiaan.

Kami khawatir semangatnya turun. Saya dekati. Peluk. Saya katakan,

A, Aa melakukan maksiat?” Anak saya kaget mendengar pertanyaan itu, tapi mungkin karena fikirannya masih berkecamuk, alih-alih membantah dengan alasan, dia hanya menjawab singkat, “Ga lah Yah.”

Aa sudah belajar sungguh-sungguh?” Kembali dijawab singkat, “iya Yah.”

Aa ga meninggalkan ibadah wajib kan? Dan yang sunat Aa sudah berusaha lakukan walau ga bisa semuanya kan?” Kembali dijawab tapi dengan sedikit mimik sedikit kesal, “Iya Yah.”

Baca Juga


Saya kembali peluk erat sambil mengatakan, 

“Selama Aa ga melakukan dosa besar, kemudian dosa kecil Aa beristighfar. Kewajiban tidak ditinggalkan dan yang sunnah berusaha dilakukan walau ga sempurna, YAKINLAH BAHWA KETETAPAN YANG AA DAPAT ADALAH YANG TERBAIK. Pasti terbaik. Allah TAU yang terbaik buat Aa dan MAU yang terbaik buat Aa. Dan kita sendiri kadang salah memilih yang terbaik buat kita. Betul kan?” Saya mencoba berlagak memotivasi berbekal ilmu dari pengajian.

Aa agak tenang. Alhamdulillah.

“Semangat terus. Yakinlah apa yang ayah sampaikan ini. Suatu saat Aa pasti bersyukur Allah sudah pilihkan jalan ini. Coba kita lihat nanti.” Saya menambahkan

...

Dan ucapan motivasi ini kembali saya sampaikan saat tiba waktu kembali ke Pondok. Sang Anak mulai agak semangat. Dan kembalilah anak dan teman-temannya ke Pondok

Sebulan kemudian ... Anak menelepon:

“Yah!! Benar kata ayah! Alhamdulillah Aa ada di kelas ini. Wali kelas Aa asyik! Hebat! Pinter! Dia banyak ngasih motivasi. Ilmunya luas. Banyak cerita di kelas. Alhamdulillah!”

Masya Allah. Berbekal maksain motivasi yang mana belum tentu saya sendiri sanggup menjalaninya ... tapi alhamdulillah anak sudah mendapat manfaatnya.

Saat liburan pertengahan tahun kami lihat-lihat catatan-catatan di bukunya banyak kata-kata motivasi. Ada tulisan planning masa depannya. Dan dia pun bisa memetakan kemampuannya, pelajaran apa yang dia sangat kuasai, yang sedang dan lemah kemudian dia menyusun rencana belajar yang tepat sasaran. Kemudian mengetahui kekuatan dan kelemahan untuk kemudian dia bisa menyusun target pendek, menengah, jauh. Masya Allah motivator seperti apa yang telah mendidik putra kami? Seusia SMP itu ayahnya dulu masih asyik bermain, boro-boro buat planning, memetakan diri!

Bersama motivasi dan dorongan ustadz itu juga, putra kami mengikuti olimpiade matematika dan studi islam. Peringkat 1 di Gontor 1. Peringkat 1 di seluruh Gontor. Kemudian menjadi salah satu yang mewakili pondok ke tingkat nasional. Padahal matematika bukan mata pelajaran unggulan dia dan dia sempat diremehkan teman-temannya dari kelas atas (kelas B). Walau kemudian secara nasional kalah, tapi tidak mungkin meredam kebahagiaan ini.

Motivasi dari ustadz keren itu berlanjut. Sang anak kemudian terpilih jadi M4 (Mudabbir kelas 4), kemudian ketua rayon, dan ketua Kopda Baru. Disaat kesibukan meningkat, yang biasanya membuat mundur prestasi belajar, tapi prestasinya justru meningkat. Saat Iudisium kelas 5 mau naik kelas 6, nama anak disebut di urutan 16 dari seribu lebih santri kelas 5 seluruh Gontor. Tapi karena suatu hal dia ditempatkan di kelas 6F. Tapi ini bukan jadi masalah baginya karena dia sudah meyakini hasil/nilai bukan tujuan tapi yang penting usaha.

Baca Juga


Suatu momen yang kami merasa tidak ada kebahagiaan hari itu selain kabar dari anak saat dia menelepon, yang curhat tentang kesibukan dan kepenatan pelajaran dan tugasnya saat puncak-puncaknya kesibukan, sang anak berkata:

“Saat Aa suntuk dan pusing karena tugas dan pelajaran, aa ambil wudhu terus sholat. Rasanya tenaaaanng banget Yah.”

Masya Allah, kebahagiaan apa yang bisa menandingi kabar ini. Yang mana orangtuanya sekian lama usianya kadang susah sekali menikmati ibadah atau khusu’ meminta tolong pada Allah dengan sholat tapi berkat didikan ustadz-ustadz hebat di Gontor anak mendapat nikmat itu.

Dan tiba Iudisium kelas 6, saat kelulusan. Allah kembali memberi bonus dia lulus dengan Mumtaz A1, mumtaz untuk pelajaran Agama dan umum.

Terima kasih yang besar sepertinya tetap tak akan cukup membayar keikhlasan para Kiai, para assatidz yang telah mendidik putra kami. Hanya berharap kepada Allah agar melimpahkan balasan dengan berlipat-lipat kebaikan bagi siapapun yang menjadi jalan kebahagiaan itu hadir. (RiM)


فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

Comments