Anak di Pesantren Ibarat Bayi Dalam Kandungan Ibu
Bulan ini Gontor (Putra) menerima kembali santri baru. Ada sekira 3714 calon pelajar yang berjuang dalam ujian masuk agar dapat diterima di salah satu Pesantren tertua di Indonesia ini. Dari sejumlah itu tersaring sekira 2800an yang kemudian disebar di Gontor Pusat dan juga Gontor-gontor cabang. Sedangkan yang belum diterima biasanya akan berlanjut di pondok-pondok alumni Gontor yang tersebar di banyak wilayah di Indonesia.
Penerimaan santri Gontor menggoreskan banyak drama, demikian yang biasa disebut para wali santri. Air mata sedih dan gembira, mimik bahagia dan duka, semangat dan kebingungan, keringat dan lelah bercampur baur bagai drama kolosal. Belum lagi cerita dan pengalaman masing-masing pendaftar yang berangkat dari kampung halaman hampir dari seluruh Indonesia dengan berbagai latar belakang pendidikan, status sosial, kekayaan yang penuh khasanah dan cerita inspirasi. Ya, ini drama. Baru permulaan dari drama yang bisa berlangsung 5 hingga 7 tahun ke depan.
Baca Juga
Banyak dari para pendaftar di pesantren itu merupakan keluarga yang sudah akrab dengan dunia pesantren. Apalagi keluarga besar Pesantren Gontor yang memiliki ikatan emosional yang sangat kuat, biasanya akan kembali menitipkan anak selanjutnya ke pesantren ini.
Tapi tidak sedikit juga di antara para pendaftar yang baru pertama kenal dengan dunia pesantren. Dunia baru biasanya akan membutuhkan penyesuaian. Mencari informasi sebanyak-banyaknya atau intens menjalin silaturahim dengan walisantri merupakan antisipasi terhadap penyesuaian ini.
Salah satu perenungan yang mungkin bermanfaat yang ingin dibagikan di sini kepada wali santri Gontor yang baru adalah, bahwa menitipkan anak di pesantren itu ibarat menitipkan bayi dalam kandungan Ibu. Gontor ibarat seorang ibu, bayi dalam kandungan adalah anak-anak kita yang kita titipkan, dan kita wali santri ibarat seorang ayah.
Poin-poin perenungannya bisa dijabarkan yang disarikan dari pengalaman pribadi dan wal santri lain sebagai berikut:
1. Rahim seorang ibu itu didesain sangat KUAT dan AMAN. Kita tidak semestinyalah terlalu khawatir dengan kebaikan anak kita dalam rahim itu. Percayakan dan mekanisme Allah akan berjalan dengan sempurna. Walau tidak sesempurna seperti rahim tapi Gontor pun insya Allah didesain mengikuti sunnah rahim. Percayakan (T.I.T.I.P dalam filosofi Gontor) dan biarkan mekanisme pondok menggodok anak kita. Sebagai mana dalam rahim Ibu, hakikatnya kita pun menitipkan anak-anak kita di Pondok itu kepada Allah.
2. Pahami dan maklumi prilaku yang kadang khas dari seorang ibu hamil. Jangan terlalu memaksakan kehendak kepada Ibu hamil. Ikuti sunnatullahnya. Demikian juga di Pondok. Kadang dalam fikiran kita wali santri bertanya-tanya: "koq pondok seperti ini? Seperti itu? dll". Gontor besar bukan seperti balon ditiup, tapi besar dari pengalaman, keikhlasan, pemikiran, perenungan dari Kiai-kiai mukhlisin yang insya Allah dibimbing Allah. Jadi ikuti dan pahami juga sunnah-sunnah Gontor.
"Ketika menitipkan anak di Pondok, ibarat menitipkan telur. Jangan harap menitipkan telur ayam kemudian berharap menetas elang. Tapi tidak ada yang mustahil di sisi Allah. Sebesar keikhlasanmu sebesar itulah keberuntunganmu." (kutipan dan ringkasan dari nasehat Kiai Hasan
3. Penuhi kebutuhan ibu hamil. Jangan seperti seorang ayah yang tidak bertanggung jawab yang setelah menitipkan benih dalam rahim kemudian kabur. Istri dan anak dalam rahim butuh asupan. Begitupun di pondok. Perhatikan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi: SPP, uang makan, buku-buku, kegiatan-kegiatan yang menunjang pendidikan anak dll.
4. Ingin anak yang sholeh yang tumbuh dalam rahim? pastikan nafkah yang diberikan berasal dari sumber yang HALAL dari cara mendapatkannya dan juga materinya. Ini sangat berpengaruh. Demikian juga di Pondok (dan tentu juga secara umum, bukan hanya karena anak di pondok). Anak-anak kita itu menuntut ilmu agama, jadi pastikan kewajiban yang dibayarkan kepada pondok dan juga dipakai anak berasal dari harta dan cara yang HALAL. Karena tidak akan memberi hasil yang baik jika suatu kebaikan bercampur dengan keburukan. Jangan coba-coba untuk masalah ini.
5. Teruslah berkomunikasi dengan bayi dalam rahim walau tidak bisa menyentuhnya. Komunikasi menjalin hubungan emosional dan bathin antara anak dan orangtua. Ucapkan kata-kata yang baik, doa, lantunan ayat di dekat rahim sang ibu, biar anak merasa tenang. Demikian juga di Pondok, jangan lepas komunikasi. Jika berkesempatan menelepon atau berkunjung sampaikan ucapan-ucapan KASIH SAYANG, PERHATIAN, DOA, dan MOTIVASI. Biar anak merasa tenang dan tidak merasa dijauhkan. Jangan bebani dengan TARGET atau NILAI tapi semangat untuk BERJUANG apapun hasilnya (walau hasil tidak akah jauh dari usaha yang dilakukan).
6. Selama anak dalam rahim anak bisa mencatat dan merekam perilaku orang tua karena pertalian bathin. Ingin anak sholeh maka orang tua pun harus menjaga prilaku, akhlak, ibadah, ucapan, langkahnya untuk kebaikan sang bayi. Demikian juga di pesantren. Perilaku orang tua, boleh percaya atau tidak, KONTAK langsung dengan bathin anak. JANGAN COBA-COBA orangtua berMAKSIAT saat anak menuntut ilmu agama di Pondok. Itu akan sangat berpengaruh. Maka tidak heran jika dikatakan saat anak di pesantren maka sebenarnya orangtua pun ikut NYANTRI, menggali ilmu lebih baik, menjaga akhlak lebih baik.
Baca Juga
JIKA WAKTUNYA TIBA MAKA ANAK KITA AKAN LAHIR DARI RAHIM GONTOR YANG AKAN MEMBAWA KEBAHAGIAAN.
Tapi tetap harus disadari bahwa mereka sebagaimana bayi yang baru lahir, masih banyak perjuangan ke depan. Sebagai mana Kiai Hasan pernah menyampaikan bahwa Gontor hanya memberikan kunci, dan anak-anak kitalah yang mengarungi kehidupan sesungguhnya.
Demikian semoga bermanfaat dan menjadi pengingat bagi penulis pribadi dan juga bermanfaat bagi yang ikut membaca. Wallahu a'lam.
Wassalam (RiM)
Comments
Post a Comment