Pembelaan Santri terhadap Kiai (Pesantren)nya, (Mudah-mudahan) Tanda Keberkahan Ilmu
Suatu ketika, seorang wali santri bercerita saat anaknya menelepon. Anak itu bercerita dan mengeluhkan tentang kurangnya adab satu atau dua temannya yang kata anak wali santri itu sok-sokan mengritik pondok padahal dia tahu kesehariannya bagaimana: yang jika berkumpul paling membicarakan film terbaru atau game atau bahkan ngomongin wanita. Eh pas ada yang ga sreg dihatinya langsung mengkritik pondok seakan-akan dirinya paling pinter. "Aa gondok banget Yah sama orang kayak gitu, ghoir adab banget, mending kalau pinter, atau sudah pernah ngasih kontribusi pada pondok", kata anak itu.
Kemudian anak itu melanjutkan,"Yah, Aa punya kekhawatiran, ada satu titik nanti dimana Gontor bisa ditinggalkan, bukan karena Gontor menjadi buruk tapi banyaknya murid-murid yang sudah terkontaminasi dengan hal diluar pondok dan ingin merubah sunnah pondok." Kemudian dia menganalogikan dengan Agama Islam,"siapa yang meragukan kesempurnaan islam, tapi walau begitu ada aja orang-orang yang mengaku islam sendiri berusaha menggugat agamanya, apalagi Gontor yang belum sempurna", kata anak itu emosi.
Yang ada dalam fikiran ketika anak bicara seperti ini justru yang timbul adalah pertama kebahagiaan dan rasa syukur karena Anak sudah dapat mengidentifikasi masalah dan bisa menganalogikannya, yang mana saya dulu seumuran itubelum gitu-gitu amat 😁 . Kedua bahagia dan syukur karena rasa khidmat, kepedulian dan pembelaan anak terhadap yang memberinya ilmu, karena mudah-mudahan ini suatu tanda-tanda keberkahan ilmu.
Dalam menanggapi ini, sebagai wali santri maka harus nambah amunisi kebijakan atau setidaknya pura-pura bijak."Yang seperti itu banyak A?" tanya wali itu. "Ga Yah, paling beberapa orang".
"Oh kalau gitu insya Allah yang kayak gitu akan tenggelam A. Dari dulu pasti ada juga dalam setiap angkatan yang seperti itu tapi tenggelam karena kuatnya proteksi pondok dan santri serta alumni seperti Aa dan teman-teman Aa yang sepemikiran. Insya Allah. Islam kan makin dibully justru makin banyak simpati", katanya maksain bijak 😁
Subhanallah! Poin yang mau disampaikan disini adalah kekhawatiran kurangnya adab murid kepada gurunya atau institusi dimana murid itu mendapat ilmu. Karena keberkahan ilmu itu bisa tercabut karena kurangnya adab terhadap yang memberi ilmu. Jika keberkahan sudah diangkat maka tak akan menyelamatkan ilmu itu walaupun banyak dan bejibun.
Guru bukanlah malaikat, dan lembaga pendidikan agama/pesantren bukanlah suci yang selalu benar atau tidak pernah salah. Tapi Guru merupakan aspek besar dalam penyebaran ilmu, apalagi jika yang disebarkan adalah ilmu agama yang mulia ini. Para pewaris nabi begitu julukan mereka para pemegang kemulian ilmu agama. Tinggi kedudukan mereka di hadapan Sang Pencipta. Maka menyikapi perbedaan dan bisa jadi kesalahan guru pewaris nabi ini sangat diatur dalam suatu adab yang harus sungguh-sungguh harus diperhatikan jika kita takut akan kemurkaan Sang Pencipta.
Tapi poin penting lagi: mencari poin atau menilai kesalahan guru/Kiai/Ustadz atau dalam hal ini Gontor sangat, sangat tidak cukup hanya berbekal sekedar ilmu (yang sekedar), info terbatas apalagi hanya prasangka. Karena Gontor dibesarkan dengan pengalaman dan perjuangan. Jika belum hidup dalam pengalaman dan perjuangan itu maka sangat naif jika merasa lebih tahu yang terbaik bagi Pondok. Tapi bukan juga berarti pondok anti masukan atau anti kritik tapi tentu ada jalur yang bisa ditempuh untuk menyampaikan kritik dan masukan itu. Dan Gontor pun tidak statis karena evaluasi dan perbaikan selalu diadakan.
Ketahuilah saudaraku para pengajar agama mulai dari yang mengajarkan iqra sampai para Kiai/Ulama, mereka semua itu ada di pesan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau bersabda,
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama” (HR. Ahmad). (RiM)
Kemudian anak itu melanjutkan,"Yah, Aa punya kekhawatiran, ada satu titik nanti dimana Gontor bisa ditinggalkan, bukan karena Gontor menjadi buruk tapi banyaknya murid-murid yang sudah terkontaminasi dengan hal diluar pondok dan ingin merubah sunnah pondok." Kemudian dia menganalogikan dengan Agama Islam,"siapa yang meragukan kesempurnaan islam, tapi walau begitu ada aja orang-orang yang mengaku islam sendiri berusaha menggugat agamanya, apalagi Gontor yang belum sempurna", kata anak itu emosi.
Yang ada dalam fikiran ketika anak bicara seperti ini justru yang timbul adalah pertama kebahagiaan dan rasa syukur karena Anak sudah dapat mengidentifikasi masalah dan bisa menganalogikannya, yang mana saya dulu seumuran itubelum gitu-gitu amat 😁 . Kedua bahagia dan syukur karena rasa khidmat, kepedulian dan pembelaan anak terhadap yang memberinya ilmu, karena mudah-mudahan ini suatu tanda-tanda keberkahan ilmu.
Dalam menanggapi ini, sebagai wali santri maka harus nambah amunisi kebijakan atau setidaknya pura-pura bijak."Yang seperti itu banyak A?" tanya wali itu. "Ga Yah, paling beberapa orang".
"Oh kalau gitu insya Allah yang kayak gitu akan tenggelam A. Dari dulu pasti ada juga dalam setiap angkatan yang seperti itu tapi tenggelam karena kuatnya proteksi pondok dan santri serta alumni seperti Aa dan teman-teman Aa yang sepemikiran. Insya Allah. Islam kan makin dibully justru makin banyak simpati", katanya maksain bijak 😁
Subhanallah! Poin yang mau disampaikan disini adalah kekhawatiran kurangnya adab murid kepada gurunya atau institusi dimana murid itu mendapat ilmu. Karena keberkahan ilmu itu bisa tercabut karena kurangnya adab terhadap yang memberi ilmu. Jika keberkahan sudah diangkat maka tak akan menyelamatkan ilmu itu walaupun banyak dan bejibun.
Guru bukanlah malaikat, dan lembaga pendidikan agama/pesantren bukanlah suci yang selalu benar atau tidak pernah salah. Tapi Guru merupakan aspek besar dalam penyebaran ilmu, apalagi jika yang disebarkan adalah ilmu agama yang mulia ini. Para pewaris nabi begitu julukan mereka para pemegang kemulian ilmu agama. Tinggi kedudukan mereka di hadapan Sang Pencipta. Maka menyikapi perbedaan dan bisa jadi kesalahan guru pewaris nabi ini sangat diatur dalam suatu adab yang harus sungguh-sungguh harus diperhatikan jika kita takut akan kemurkaan Sang Pencipta.
Tapi poin penting lagi: mencari poin atau menilai kesalahan guru/Kiai/Ustadz atau dalam hal ini Gontor sangat, sangat tidak cukup hanya berbekal sekedar ilmu (yang sekedar), info terbatas apalagi hanya prasangka. Karena Gontor dibesarkan dengan pengalaman dan perjuangan. Jika belum hidup dalam pengalaman dan perjuangan itu maka sangat naif jika merasa lebih tahu yang terbaik bagi Pondok. Tapi bukan juga berarti pondok anti masukan atau anti kritik tapi tentu ada jalur yang bisa ditempuh untuk menyampaikan kritik dan masukan itu. Dan Gontor pun tidak statis karena evaluasi dan perbaikan selalu diadakan.
Ketahuilah saudaraku para pengajar agama mulai dari yang mengajarkan iqra sampai para Kiai/Ulama, mereka semua itu ada di pesan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau bersabda,
ليس منا من لم يجل كبيرنا و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama” (HR. Ahmad). (RiM)
Comments
Post a Comment