Kisah Rindu Santri yang Lebih Bernilai Dari Rindunya "D"
Dari pada nonton dan membayangkan Dilan dengan segala romantikanya yang cenderung menjauhkan anak-anak kita dari agama, lebih baik nutup mata membayangkan kita sebagai anak kita yang sedang menghitung hari kepulangan, bertemu lagi dengan orang-orang yang dicintai, orang tua, adik, kakak, teman bermain. Atau kasur tempat yang sebelumnya dia ilerin. Atau bala-bala buatan Bundanya, atau sekedar cireng. Hal-hal remeh temeh yang membuat mereka kangen. Dan inilah kisah romantika yang indah, yang sebenarnya.
Romantika tidak mesti melulu tentang cinta dua makhluk remaja yang cenderung menggiring kepada dosa. Kisah sederhana tentang kerinduan akan nasi goreng buatan Bunda di pagi hari atau latihan sparring tinju sama ayahnya, hingga ayahnya mengaku kalah akan lebih berkesan, atau sedikit silang cekcok dengan adiknya kadang akan terdengar seperti melodi indah yang menghiasi rumah kita dan itu menambah kedekatan cinta antar makhluk Allah, cinta yang dirahmati.
Pada awal-awal kepulangan di tahun-tahun pertama di pondok, anak-anak biasanya sudah menghitung hari, countdown. Dan biasanya di sudut bukunya adalah tulisan yang harus dia dapatkan setelah nanti kepulangan atau yang harus dia lakukan.
Dan biasanya orangtua atau Ibu-ibu sudah menyusun rencana mau masak apa buat memenuhi kerinduan makanan rumah bagi anaknya atau menyusun rencana silaturahim ke saudara-saudaranya. Sebagian menyusun semacam kurikulum rumah agar dinamika pondok tidak serta merta luntur ketika pulang.
Anak-anak kita adalah tokoh utama dalam novel kehidupan yang nyata, Kisahnya lebih sanggup meneteskan air mata kita, baik air mata sedih ataupun bahagia, tanpa rekayasa. Tertawa kita adalah benar-benar tertawa yang tulus yang dapat menyejukkan hati. Begitupun harapan dan kekhawatiran lebih utama kita hadapi daripada sekedar cerita fiktif yang entah kenapa menjadi booming.
Dan kita pun wali santri adalah bagian dari tokoh-tokoh dalam novel perjalanan anak kita.Apakah kita menjadi tokoh antagonis yang bakal menghambat upaya seorang anak menjadi orang besar, na'udzubillah. Ataukah protagonis yang menjadi bagian dari pendukung utama dalam mempersiapkan keberhasilan tokoh utama. Atau sekedar cameo atau figuran yang sekedar lewat menikmati kesuksesan film tapi sedikit kontribusinya.
Sang Sutradara sudah punya endingnya, buku petunjuk pun sudah diberikan. Pelatihan-pelatihan dan nasehat-nasehat untuk menjadi pemain yang baik sudah banyak di mana-mana. Tinggal kita memilih.
Ooops, kata "memilih" terdengar sangat politis hari ini, hehehe.
Selamat memilih. Sambil terus menutup mata membayangkan seandainya kita yang di pesantren. Yang mengitung hari. Yang menahan kerinduan. Yang menulis rencana. Tapi tetap berbagi fokus dengan ujian yang sudah didepat mata. Koq bisa ya? Anak-anak kita BISA! (RiM)
Comments
Post a Comment