Jalan Mujahid: Episode 2 Azan Alam
Ahmad sulit memejamkan mata. Pikirannya kembali menerawang kembali kenangan masa lalu. 12 tahun yang lalu, saat sang penyejuk mata ini lahir.
Malam itu, 3 November, kepanikan pecah. Ada cairan keluar dari mulut rahim Tini sebagai tanda akan dimulainya persalinan. Ahmad yang khawatir sesuatu terjadi pada istri dan bayinya paling terlihat panik. Dia berjalan mondar-mandir seperti bingung harus melakukan apa. Tini justru terlihat lebih tenang. Sebelum kehamilan dia memang sudah mempersiapkan ilmu dengan banyak membaca buku tentang persiapan menghadapi kehamilan dan persalinan bagi pasangan muda. Pak Haris dan Bu Entin, orang tua Tini, terlihat juga sedikit panik. Tapi mungkin kepanikan akibat kegembiraan akan mendapat cucu pertama dari anak pertamanya. Saat itu pasangan muda Ahmad dan Tini memang sedang berada di rumah orangtua Tini.
Akhirnya disepakati malam itu juga, sekitar pukul 21 malam, mereka mengantar Tini ke klinik persalinan. Setelah pemeriksaan, bidan mengatakan memang sudah ada pembukaan jalan persalinan. Tapi masih kecil. Mereka harus menunggu. Malam itu diputuskan Ahmad dan Ibu mertua menemani Tini, setelah sang mertua menolak setelah dipersilahkan Ahmad pulang ikut mobil yang tadi disewa. Sedangkan Pak Haris pulang.
Waktu terus berjalan, bayangan kegembiraan akan memiliki buah hati seperti tumpang tindih dengan kekhawatiran melihat sang istri mengerang saat kontraksi datang. Ahmad tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya tapi setiap kontraksi datang Tini seperti menahan sakit yang sangat sambil tangannya mencengkram erat telapak tangan Ahmad. Dan itu terus berulang. Begitu luar biasa perjuangan seorang ibu pikir Ahmad. Pikirannya melayang ke almarhum Ibunya. “Ibu ....” Ahmad membathin teringat ibunya. Dan matanya pun membasah. Tapi mulutnya terus diusahakan memberi semangat ke istrinya.
“Dzikir Sayang ..., Bunda bakal jadi Bunda hebat. Ayah sayang Bunda. Bunda kuat!”. Lirih Ahmad ditelinga istrinya setiap kali rasa sakit itu datang. Ahmad tahu mungkin kata-katanya sudah kehilangan power karena dia sendiri sungguh gundah, sedih melihat perjuangan istrinya, tapi dia paksakan untuk tenang.
Hari telah sore, 4 November. Sudah hampir 20 jam istri mengalami kontraksi. Tapi bidan mendapati pembukaan jalan rahim masih kecil. Muncul kekhawatiran di wajah bidan. Ahmad membaca gelagat ini.
“Gimana Bu? Ada perkembangan?
“Ehm begini Pak, sepertinya pembukaan di istri Bapak sangat lama, sedang istri Bapak hampir terkuras tenaganya, ehm kami menyarankan istri Bapak langsung saja dibawa ke rumah sakit. Disana peralatan lengkap jadi banyak alternatif”. Kata Bidan pemilik klinik persalinan
“Maksudnya ga bisa lahir normal Bu?”
“Bukan Pak. Maksudnya kalau di rumah sakit nanti bisa dikasih perangsang supaya pembukaannya bisa cepat. Di sini tidak ada. Dan jika ada tindakan khusus, rumah sakit sudah siap peralatannya. Buat kebaikan ibu dan bayinya”.
Kalimat terakhir itu membuat Ahmad bergegas, tidak mau berlama-lama memenuhi keingintahuannya.
“Baiklah kalo begitu, saya cari mobil dulu”
Ahmad baru minta izin ke istri dan ibu mertuanya untuk mencari mobil, Ibu Bidan tadi menawarkan mobil yang ada di klinik persalinan itu. Tanpa pikir panjang Ahmad setuju, walau tadinya dia fikir akan biaya sudah termasuk biaya rawat inap tapi ternyata beda, bayar terpisah. Ga masalah pikirnya, yang penting istrinya segera tertangani.
Tiba di rumah sakit menjelang maghrib. Setelah diperiksa dan mendapat keterangan dari bidan yang menyertai, Tini langsung ditangani dokter. Selang infus segera dipasang dengan dicampur obat yang disuntikkan di kantong infus.
Sakit akibat kontraksi itu masih datang. Dan mungkin akibat obat itu, jeda antara masing-masing kontraksi makin pendek. Ahmad makin tegang. Tapi wajah Tini masih menampakkan ketenangan walau sakit terasa. Sesekali dia mengerutkan kening menahan sakit tapi wajahnya masih diusahakan tersenyum. Dia tahu suaminya sangat tegang. Jangankan saat ini, saat proses mau melahirkan, saat hamilpun dia sangat protektif terhadap Tini.
“Ayah sudah makan? Makan dulu, nanti sakit,” kata Tini pelan sambil menahan sakitnya kontraksi.
“Gampang Sayang, td siang sudah. Barusan makan roti”, kata Ahmad
“Iya ini si Ayah dari tadi disuruh makan, jawabnya nanti nanti aja. Untung tadi mama paksa makan roti”, Ibu Entin menimpali yang dari kemarin apik menjaga Tini, putri sulungnya.
Tapi kontraksi itu makin cepat! Wajah Tini mulai makin menampakkan kesakitan. Ahmad terus menyemangati, walau sebenarnya dia yang paling panik.
Jam 2 dini hari, 5 November ...
Ahmad yang sempat terpejam mata di samping istrinya sambil menggenggam tangan istrinya tiba-tiba ada yang mengguncang pundaknya. Dia lihat wajah mertuanya yang sangat tegang.
“Ayo bangun. Sudah waktunya ..” kata Ibu mertuanya pelan.
Ahmad masih belum sepenuhnya sadar tapi genggamannya sudah terlepas dari istrinya. Beberapa perawat memindahkan istrinya ke tempat tidur dorong.
“Doakan saja Pak. Insya Allah sudah waktunya. Bapak sama Ibu tunggu diluar saja”, seorang dokter.
Ahmad melihat wajah istrinya makin mengerang kesakitan.
“Saya mau menemani boleh Dok?” tanya Ahmad sambil memegangi tangan istrinya.
“Tidak boleh Pak. Bapak diluar saja”, kata dokter itu sambil tersenyum tapi Ahmad merasakan senyum itu sangat kejam. Istrinya mengerang kesakitan sedang dia tidak ada disisinya. Ingin protes tapi tangan mertuanya sudah menariknya keluar. Ahmad pasrah tapi dia sempat mencium istrinya dan membisikkan penyemangat di telinga istrinya. “Sebentar lagi Sayang, yang kuat ya, Ayah sayang Bunda”.
Ahmad hanya bisa memandang tempat tidur dorong itu tergegas didorong ke ruang persalinan. Dia makin lemas setelah pintu itu ditutup. Dia tidak bisa tenang. Mertuanya hanya melihat Ahmad berjalan mondar mandir.
“Udah jangan dibawa tegang, banyakin zikir aja. Sholawat. Do’ain lancar.” Kata ibu mertuanya. Ahmad tersadar. Tadi dia memang sudah merencanakan mau sholat malam, tapi karena tegang dan takut jika ada apa-apa dia belum bergerak untuk sholat. Tapi ucapan mertuanya itu menyadarkannya. “Iya, Ma”. Dia langsung melangkah buru-buru ke masjid rumah sakit yang terletak beberapa bangunan dari ruang persalinan.
Selesai sholat, dia kuraskan airmatanya untuk memohon kepada yang Maha Pengasih agar memudahkan persalinan istrinya. Dia tidak tau berapa lama dia berdoa tapi tiba-tiba pundaknya kembali disentuh seseorang. “Nak, dipanggil dokter”, Ahmad lihat kembali wajah ibu mertuanya, dia berharap ada kabar baik tapi bukan wajah gembira yang dilihatnya.
“Sudah lahir Ma?” tanya saya mendesak berharap ada jawaban yang bisa mencairkan ketegangan.
“Belum. Dokter manggil. Nyuruh nemenin Bunda”
Ahmad lihat jam. Sudah satu jam dan persalinan belum selesai! Ahmad makin panik. Ya Allah apa yang terjadi? bantu kami ya Allah, bathinnya teriak. Dia buru-buru ke ruang persalinan. Di sana sudah menanti dokter dan beberapa perawat.
“Hayo Pak semangati istrinya! Ini koq lemes banget! Bahaya nanti buat bayi dan ibunya sendiri” Kata dokter ketus.
Ahmad ingin protes, sepertinya dokter ini tidak berperasaan. Istrinya sudah mengalami kontraksi hampir dua hari, tentu tenaganya sudah lemas. Tapi alih-alih keluar protes Ahmad justru langsung memeluk istrinya, karena dokter sudah mau mulai lagi proses persalinan.
“Ayo Bu dorong, dorong yang kuat, ambil napas, dorong! Ayo sayang ga sama anaknya!!”
Ahmad sudah hampir tidak tahan sama hardikan dokter itu tapi dia tidak kuasa, Istrinya butuh pertolongan. Dia hanya bisa membisikkan dorongan ke telinga istrinya. Zikir atau apapun doa yang dia bisa ingat.
Setelah beberapa kali percobaan istrinya sudah tidak kuat. Akhirnya dokter mengambil keputusan.
“Ya sudah kalau Ibu tidak kuat, kami harus ambil tindakan. Dan Bapak harus buat surat pernyataan!” kata dokter.
“Pernyataan apa Dok?” dalam benak Ahmad kekhawatirannya memuncak. Dalam bayangannya istrinya harus operasi
“Kami akan ambil tindakan medis lanjutan”. Kata dokter.
“Sesar Dok?” tanya Ahmad pasrah
“Kepala bayi sudah diujung mulut rahim. Kami akan pakai tindakan vacuum. Silahkan Bapak tanda tangan disini buat menyatakan Bapak setuju dengan tindakan ini.” Kata Dokter
Ahmad tidak pikir panjang. Dia langsung menandatangai surat pernyataan itu.
“Nah Bapak silahkan keluar lagi.” Kata dokter itu.
“Tapi Dok saya ingin menemani istri saya”, Ahmad memelas. Membayangkan kembali istrinya sendiri sambil dibentak-bentak dokter.
“Tidak bisa Pak, di luar saja”, dokter itu memaksa.
Kembali pintu ruang bersalin itu ditutup, Ahmad tertatih lemah. Dia hanya bisa jongkok menutupkan wajahnya ke lutut. Dia merasa berdosa dan tidak berdaya untuk bisa menemani istrinya melewati perjuangan ini. Matanya basah. Ibu mertuanya hanya bisa memeluk Ahmad di pundaknya. Dia pun tegang dengan perjuangan persalinan anaknya.
Detik-detik terasa lama bergeser....
Tiba-tiba terdengar azan subuh di kejauhan. Kemudian azan lain terdengar. Azan seperti bersahut-sahutan.
Ahmad mendengar langkah mendekati pintu persalinan. Dia mengangkat kepalanya. Pintu ruang persalinan terbuka, terasa lama menunggu wajah yang membuka pintu itu. Ahmad tidak tahu kekuatan apa lagi yang dia punya jika kabar buruk yang dia terima.
Dia pasrah.
Wajah itu muncul juga. Dokter yang tadi membentak istrinya. Sesaat nalurinya muncul untuk membenci dokter ini yang dia rasa sangat tidak manusiawi. Tapi dia perhatikan wajah itu senyum.
“Anak Bapak sudah lahir. Laki-laki. Ganteng Pak”, kata dokter itu.
Memori kebencian itu tiba-tiba hilang. Ahmad langsung berdiri berteriak, “Allahu Akbar!! Alhamdulillah, terima kasih dok!” Ibu Titin pun menangis bahagia mendengar anaknya selamat dan cucunya sudah lahir. Dokter membiarkan Ahmad bergegas menemui istrinya.
Di ruang itu dia lihat wajah istrinya seperti bercahaya, didadanya berbaring seonggok makhluk kecil yang masih merah, yang sepertinya baru terhenti menangis setelah diletakkan di dada ibunya. Dipeluknya istrinya. Sambil mengucap syukur dan segala puji kepada Sang Maha Pencipta.
“Ganteng Yah,” kata Tini dengan mata berbinar. Binar bahagia. Seperti tidak pernah merasakan sakit sebelumnya. Melihat itu tercetus janji dalam hati Ahmad akan mendidik putranya ini untuk menempatkan bundanya sebagai wanita nomor satu selama hidupnya. Tidak ada wanita yang lebih utama selain bundanya ini setelah melihat perjuangan istrinya dan keikhlasannya menahan sakit.
“Ayah azanin dulu,” kata Ahmad
“Sudah keduluan Yah!,” kata Tini. Ahmad bingung. Dia melihat ga ada ayah mertuanya di sana.
“Tadi pas lahir langsung disambut azan subuh,” Tini tidak membiarkan suaminya lama-lama bingung. Mendengar itu Ahmad malah senyum.
“Ga apa apa, sekarang giliran ayah,” kata Ahmad sambil mendekati telinga sang bayi. Kemudian azan dengan lirih kemudian diikuti iqomat. Air mata Ahmad jatuh saat mengazani bayinya. Dia sudah jadi ayah.
......
Air mata itu masih mengalir saat kembali ada yang menggoncang tubuhnya. Mata Ahmad yang basah terbuka. Pandangan yang terhalang air mata itu langsung disekanya. Dilihatnya anaknya, Irfan, yang tadi dibayangkan saat lahirnya, sekarang duduk di sampingnya. Ahmad tiba-tiba merasa seperti orangtua kejam yang akan meninggalkan anaknya untuk sekolah yang jauh. Dikeringkannya air matanya
“Ayah nangis?” Kata Irfan.
“Ga, Ayah susah tidur jadi mata berair,’ kata Ahmad sekenanya. Dia tidak boleh terlihat lemah di mata anaknya. Dia lihat bis sudah memasuki terminal Madiun.
“Sudah nyampe ya?” kata Ahmad.
“Mungkin,” kata Irfan. Sambil wajahnya menengok mencari-cari info. “Baru sampe Madiun Yah. Belum Ponorogo,” kata Irfan,
“Ya sudah sampe Fan. Bis ini Cuma sampe madiun. Ayo siap-siap!” kata Ahmad. (RiM)
Bersambung
Bersambung
Comments
Post a Comment