Gontor Mempersaudarakan

Suatu ketika penulis mengikuti suatu seminar yang pembicaranya adalah seorang wali santri. Pembicara itu kebetulan membawa anak yang sudah alumni Gontor Putra di marhalah Inspiring Generation. Tidak tahu mengapa tapi memandang anak itu, melihat tingkah polahnya, gesturnya yang sangat gontory (khas santri Gontor), seperti melihat anak sendiri. Rasanya ingin memeluk seperti ingin melepas kerinduan dengan memeluk anak sendiri.

Atau di sebuah grup Whatsapp Wali Santri, Gontor for All, Grup ini sangat unik. Tidak kering berita politik berseliweran, yang mana di grup lain “diharamkan” berita atau posting semacam ini. Bicara ke utara ke selatan (ngalor ngidul maksudnya 😁) tapi grup ini memiliki inisiatif dan kepedulian yang besar jika ada santri atau wali santri mendapat musibah. Jika sudah dimulai pengumuman pengumpulan dana maka berbondong-bondong anggota grup ini menyumbang. Bahkan dari info seorang anggota grup, ada wali santri yang secara ekonomi sebenarnya dia pun membutuhkan bantuan, tapi jika ada santri atau wali santri ada yang membutuhkan bantuan maka dia ikut berpartisipasi walau tidak banyak. Masya Allah.

Atau ada cerita seorang wali santri, suatu ketika ada satu mobil sekeluarga menuju Gontor sehabis liburan. Dalam perjalanan mobil itu menemui kendala. Mogok di jalan. Karena berada di daerah yang belum dikenal dan tidak tahu kemana harus mencari orang untuk memperbaiki mobil, iseng-iseng dia mengabarkan keadaannya kepada temannya. Kemudian berita itu menyebar. Sampai ke tangan wali santri yang sebenarnya rumahnya jauh dari lokasi, 100km lebih. Tapi kemudian wali santri ini datang lengkap dengan perlengkapan bengkel untuk sekedar membuat mobil kembali jalan. Dan dilakukan tanpa pamrih.

Atau ada Pak Wawan (mudah-mudahan beliau tidak keberatan saya sebut namanya), seorang wali santri putri tahun ketiga. Beliau dari Merauke, ujung timur Indonesia. Tapi beliau sedang berada di pulau jawa karena salah satu anaknya sedang dalam perawatan rumah sakit. Beliau tinggal menumpang di kost-an anaknya yang kuliah. Beliau tidak berhenti bolak-balik, mencari santri yang mengalami masalah misalnya sakit, atau kendala pembayaran iuran studi di Gontor kemudian dicarikan donatur. Dengan biaya sendiri dia mengunjungi keluarga santri yang membutuhkan tersebut, wawancara dan memberikan foto-foto sebagai bukti kepada donatur bahwa santri itu layak dibantu. Atau secara rutin dia datang ke Gontor cabang yang dekat dengan lokasinya (G6), sekedar menengok, membantu dan memotivasi anak-anak santri agar semangat belajar padahal Beliau tidak mempunyai anak yang sedang mondok di G6, bahkan tidak jarang mengajak santri-santri itu untuk makan bersama. Allahu Akbar!

Banyak sekali kisah persaudaraan ini, yang saking banyaknya saya hampir lupa mana yang bisa dijadikan bahan tuisan. Tapi ini terjadi karena empati sesama wali santri.

Hal ini bisa terbentuk mungkin dari beberapa hal di bawah ini, yang saya simpulkan dari beberapa sumber dan dari hasil perenungan:

      1. Sistem pendidikan di Gontor yang berhasil membuat ikatan yang kuat antara santri ke pondok, santri ke Kiai/ustadz, santri ke santri, alumni ke pondok, alumni ke marhalah dan lain-lain. Berpuluh kali hukuman, beratnya masa studi, makan seadanya dll tidak mampu membuat keluaran Gontor untuk melupakan pondoknya, rindu pondok selalu terpatri walau sudah bertahun-tahun. Hal ini juga mampu menularkan ke wali santri juga. Antara wali santri ke Santri, wali santri ke pondok dan wali santri ke wali santri lain. Bahkan ada wali santri yang anaknya sudah tidak di Gontor alias alumni tapi masih berada dalam komunitas wali santri yang anaknya masih di pondok tanpa berkurang rasa bagian dari Gontor. Masya Allah.

      2. Disiplin Pondok yang super “edun” (maaf istilahnya) yang tanpa kompromi, jika sudah jatuh keputusan tidak memandang anak kiai, anak pejabat, anak konglomerat maka palu pasti diketuk, membuat wali santri butuh dukungan dan motivasi dari sesama wali santri. Butuh berita, butuh info, butuh tips dan tukar pengalaman. Maka sangat sulit ditemui wali santri yang tidak terhubung dengan walisantri lain. Ada yang berkumpul dalam grup WA perkelas, Per pondok, per konsulat, per daerah, per minat dan profesi, per angkatan atau grup Facebook dan lain-lain.

      3. Aturan pondok yang hanya memberi waktu terbatas bagi wali santri untuk berinteraksi dengan anaknya saat membesuk (mudhif) membuat wali santri memiliki waktu lebih lama dengan wali santri lain dibanding dengan anaknya. Obrolan, curhatan, nasehat, motivasi, tukar pengalaman menjadi tema sehari-hari antar wali santri. Hal ini bisa memunculkan ikatan yang kuat

Demikian yang bisa disimpulkan. Sekali lagi tulisan di atas dibuat dalam kacamata wali santri. Unsur subyektifitas bisa jadi terjadi, walau diusahakan untuk obyektif. Maka usul, tambahan, saran dan kritik diterima dengan senang hati. Wassalam.

Comments