Ustadz Oky: PENTINGNYA BELAJAR DARI KEGAGALAN DAN GONTOR YANG MENGAJARI INI


Saya dulu dibesarkan di sebuah keluarga yang di seting perfectionis dalam urusan Belajar. Segala rupa sarana dan prasarana belajar dari mulai Buku, penggaris, pewarna, alat-alat ketrampilan, dan semuanya disediakan oleh Bapak jika saya minta. Syaratnya satu, saya tidak boleh ranking 3 di SD. Harus Ranking 1 atau kalau tidak Ranking 2. 

Pernah sekali waktu saya mendapatkan Ranking 3, maka marah bapak yang luar biasa saya terima. Berbagai nasehat dengan irama karah yang meluap-luap harus saya dengarkan di ruang tamu rumah saya.Bapak merasa sudah membiayai semua sarana, dan ternyata saya kalah oleh teman saya yang secara Sarana belajar saja masih jauh berada di bawah saya??

Oleh karena itu, maka tertanam dalam jiwa saya, bahwa saya tidak boleh gagal. Setidaknya di hadapan Bapak saya. Maka saya berusaha mati-matian untuk selalu Ranking satu dan lulus dengan mendekati sempurna. 

Hal ini terbawa sampai saya SMP. Bahkan saking takutnya saya tidak mendapat Ranking 1, maka di raport saya saya tulis RK 1, dan baru raport itu saya tunjukkan kepada Ibu, karena saya tidak mau dianggap gagal oleh orang tua saya.

Begitu takutnya saya untuk gagal, sehingga saya terbentuk menjadi pribadi yang pefectionis. Sebelum saya melangkah, saya harus perhitungkan betul apa yang akan terjadi nanti. Jangan sampai ada orang yang mencium kegagalan saya.

Dan ketika saya masuk ke Gontor, langsung saya duduk di kelas 3 intensif karena sebelumnya pernah belajar di pesantren Ar-Risalah. Disinilah tempaan pertama saya dimulai. 

Cara belajar saya yang salah ketika ujian di Gontor, belum menguasainya saya dalam materi ber-Bahasa Arab, dan lingkungan baru yang membaut saya harus menyadari, bahwa di luar ada yang punya dan bahkan lebih diberikan sarana pendidikan yang memadai, ini bukan seperti di SD dimana saya menjadi one and only person who mastering education tools.

Saya betul-betul seperti orang tolol di Gontor. Tidak tau apa dan bagaimana saya belajar. Akhirnya ini untuk pertama kalinya saya merasa failed...saya gagal....

Nilai pertengahan tahun saya Cuma 4,8. Sebuah nilai yang masuk kategori “tidak naik” di Gontor. Mata saya nanar. Saya tidak percaya ini. Saya sembunyikan Raport saya dari orang tua saya (Raport pertengahan tahun di bagikan kepada santri). Tidak saya kasih tahu. Saya simpan rapat-rapat. Rasa malu dan takut membayangi saya. 

Bagaimana kalau saya tidak naik? Bagaimana wajah orang tua saya?? Bagaimana nama orang tua saya ?? Saya bikin malu keluarga....

Bahkan ketika ujian akhir tahun, saking takutnya saya dengan kenyataan ini, saya melarikan diri ke Bandung untuk menghindari pembacaan kenaikan kelas.

Tapi akhirnya kenyataan harus saya terima, saya memang naik kelas...tapi di kelas 5O..dua kelas dari posisi paling bawah (Di Gontor klasifikasi menunjukkan “kasta” akademik santrinya. Kalau kelasnya 5B, 5C, dst itu berati anak-anaknya pandai. Sedangkan kelas 5M, 5N, 50, atau 5P itu berarti “asfala safilin” (Kerak).

Tapi ini pelajaran yang saya dapat. TIDAK ADA PERBEDAAN MENGAJAR diantara para Guru di kelas atas atau di kelas bawah. 

Materi yang di dapat sama, buku yang dipakai sama, jam pelajaran yang di gunakan juga sama. Tidak ada juga pandangan menghina dari kawan-kawan kelas 5 atas (5B, 5C, 5D, dst) kepada kami. Kami dihargai sama seperti dihargainya kelas 5 yang lain. Tidak ada kemarahan para Guru, yang ada adalah motivasi tiada henti dari para Guru. Pengajaran yang penuh kesabaran dari para ustadz kami. Dorongan motinasi dari dalam diri keluar karena banyak ditanya oleh teman-teman sekelas. 

Prestasi kami di luar pelajaran tak kalah mentereng. Juara 1 dan 2 sepak bola dan bola basket antar kelas 5. Menjadi kelas dengan predikat terbersih dan terindah se-Darussalam. Sampai wali kelas kami di minta berdiri untuk dekenalkan kepada Guru yang lain bahwa beliaulah wali kelas kami. Tidak ada diskriminasi, tidak ada penghinaan, tidak ada kalimat-kalimat merendahkan, yang adalah motivasi untuk tetap optimis dan berhasil.

Perlahan saya bangkit, saya benahi cara belajar saya. Saya persiapkan jauh lebih lama menjelang ujian. Saya mati-matian berjuang dan belajar dengan model ala Gontor. Ketika ujian tiba, saya tidak pernah dirumah. Saya tanyai teman saya di 5B yang lebih paham pelajaran dibanding saya (Sesuatu yang hampir tidak pernah saya lakukan ketika SD). Saya tidak tidur sampai malam. Dan bangun lebih pagi untuk belajar. Saya benahi betul-betul bagaimana cara belajar di Gontor itu. Saya harus belajar dari kegagalan masa lalu saya. Saya harus bisa tampil lebih baik lagi. Harus bisa...

Sampai-sampai Ibu saya berkata kurang lebihnya...Baru sekarang melihat saya belajar seperti ini...

Alhamdulillah, saya naik kelas 6H saat itu...dari 5O ke 6H....dan itu berasal dari kerja keras saya sendiri dan Ridho Allah....saya belajar dari kegagalan...saya belajar dan kesalahan..dan terbayarkan sudah...

Maka belajar dari kegagalan sama sekali bukan aib. Bahkan kalau seandainya kita tidak naik kelas sekalipun. Di pesantren itu hal biasa.
Berapa banyak dari alumni Gontor yang pernah tidak naik, tapi justru saat ini dia mampu menjadi pelopor di Masyarakat? Berapa banyak yang pernah tidak naik karena belajar dari kegagalan dan sekarang malah menjadi pengusaha sukses? 

Berapa banyak alumni yang jadi doktor dan dulu pernah merasakan tidak naik kelas ketika di Gontor? Semua itu karena proses yang diajarakn di Gontor, bahwa kegagalan selama dia tidak membunuh kita, maka akan membuat kita semakin kuat....

Berapa banyak alumni yang jadi doktor dan dulu pernah merasakan tidak naik kelas ketika di Gontor? Semua itu karena proses yang diajarakan di Gontor, bahwa kegagalan selama dia tidak membunuh kita, maka akan membuat kita semakin kuat....


Sekarang, ketika sekolah membuat program semuanya harus naik kelas. Dengan asumsi yang nilainya kurang ikiut remedial. Sehingga anak-anak malah ada yang minta remedial ketika selesai mengerjakan ujian karena merasa tidak bisa. Ada anak yang nilainya kurang jauh, tapi harus dinaikkan juga karena tidak ada status tidak naik itu. Ketika anak-anak tidak serius belajar dan menganggap ringan ujian karena tidak mungkin tidak naik kelas....
MEREKA TIDAK AKAN PERNAH BELAJAR DARI KEGAGALAN....

***

Sebuah wa saya terima ketika saya menuliskan ini untuk menghancurkan suatu bangsa tidak perlu menggunakan Bom. Cukup longgarkan Dispilin dalam pendidikan dan berikan kecurangan dalam ujian. Maka yang akan terjadi :

-Penduduk negara itu akan banyak yang mati di tangan dokter yang lulus dengan curang
-Perusahaan akan bangkrut karena akuntannya curang
-Keadilan hanya jadi barang dagangan karena hakimnya curang
-Kebodohan dan kekasaran akan jadi karakter anak bangsa yang lulus dari sekolahan yang curang dan tidak berdispilin

Gontor....Aku belajar dari Kegagalan darimu....

Comments