Ustadz Oky: Harisul Ma’had Laylan (Penjaga Pesantren)


Jika anda berkunjung ke Gontor, maka periksalah dari ujung ke ujung, maka anda tidak akan menemukan seorang Satpam atau petugas Keamanan di manapun. Padahal Gontor adalah pesantren besar, bagaimana bisa menjaga pesantren sebesar itu tanpa ada petugas kemananan satu-pun? Tidak sulit, karena Filosofy yang dibangun adalah bahwa santri-lah yang membangun Asrama atas seizin Kyai, maka tentu saja Para santri sendiri yang akan menjaganya. Tanggung jawab ini mutlak, karena asrama ini selain dipakai oleh santri sendiri, juga sudah diniatkan untuk diwakafkan kepada pesantren untuk tempat tinggal adik-adiknya kelak, maka adalah sebuah kewajiban para santri untuk menjaga pesantren ini dari berbagai ancaman.

Untuk jaga malam, Gontor mengenalkan kami para santri dengan Istilah Harisul Ma’had Laylan, yang secara bahasa berarti penjaga malam pesantren. Kami yang KIBAR (Anak-anak yang dinilai sudah dewasa) akan diminta untuk menjaga pesantren di waktu malam. Di berbagai penjuru pesantren, semakin tahun, seiring semakin berkembangnya lingkungan pesantren, maka semakin banyak pula lokasi posko penjagaan yang harus kami jaga. Dari mulai Rumah Pak Kyai (Ini ada yang lucu, ketika pas ada isu ninja ditahun 1998 dulu, kami diperintahkan untukmenjaga Rumah Kyai dengan extra keras. Saking kerasnya malah kami tertidur sehingga pak Kyai bilang : “Lha wong ini kebalik, saya yang jagain santri ini, bukan dijagain. Lha suruh jaga malah tidur), sampai ke Asrama dan pintu masuk pesantren dan komplek perumahan Guru. Yang biasanya paling mengerikan adalah GBS Root (Kamar Mandi anak baru), dan Komsol (Sebuah komplek kelas, mungkin sekarng jadi Asrama yang berbatasan langsung dengan sungai Malo). Sebenarnya “Horor”-nya itu lebih pada cerita-cerita takakhayyul yang berkembang, bahwa di kedua tempat itu ada Hantunya, jadilah santri yang jaga ditempat itu ga bisa tidur, kecuali yang bener-bener hoby-nya tidur.

Nanti pada sekitar pukul 01.00 dini hari, akan ada petugas pengantar Kopi ke masing-masing posisi kami. Kopi yang diseduh di ember besar. Ya, di ember air besar itulah kopi itu dibuat. Kemudian dikelilingkan, dan kami mengambilnya dengan apa aja yang bisa dipakai untuk mengambil Kopi. Bisa botol aqua, piring, gelas, atau bahkan gayung sekalipun. Kopinya rasanya macam-macam tergantung yang bikin. Terkadang rasanya pas, atau terlalu manis, atau bahkan cuman rasa kopi aja. Kami sudah sangat gembira sekali. Karena tentu saja selain adanya to’am (makanan) yang mengiringi jaga malam kami, juga karean besoknya kami tidak masuk di dua jam pelajaran awal kami. Ya, hanya itu yang kami dapatkan, tapi kami menyambutnya dengan suka cita dengan penuh tanggung jawab.

Dulu pernah ada maling yang ketangkap, sudah dipukuli oleh Haris Layl setempat, dikeroyok ramai-ramai oleh para santri, di bawa dan dinterogasi dan lagi-lagi dipukuli oleh Bagian Kemanan, di bawa ke pengasuhan santri, dipukuli lagi. Tapi tu maling sama sekali tidak merasa kesakitan. Malah kami yang merasa sakit karena mukulin tu maling. Akhirnya dipanggillah seorang Ustadz ahli bela diri.Beliau memerintahkan si Maling untuk lepas baju, sampai tinggal celana dalam saja, sehingga ketahuanlah bahwa si Maling memakai jimat kebal. Ketika dilepaslah Jimat itu, barulah si Maling berteriak-teriak kesakitan dan tubuhnya lebam-lebam bekas pukulan. Sebuah kenangan yang masih membekas hingga saat ini….

Betul kata Kyai. Pesantren itu milik Allah, maka Allah pula yang akan menjaganya. Pesantren itu ibarat lautan yang Thahir dan Muthohirun Li Ghayrihi (Suci dan Mensucikan). Maka dengan penjagaan internal saja, asalakn dilakukan dengan penuh tanggung jawab, maka pesantren-pun relative aman…Insya Allah…

Comments