Jalan Mujahid, Episode: Keberangkatan (Cerita Bersambung)
“Semua sudah dinaikkan?”, tanya Ahmad kepada anaknya, Irfan.
“Sudah Yah.” Kata Irfan sambil mengangkat tas terakhir yang berisi makanan kecil yang dipersiapkan ibunya keatas tempat bagasi di atas kursi Bis.
“Simpan di pangkuan aja Fan, biar nanti ga repot kalau mau ngemil”. Ujar Tini, ibunya Irfan, yang masih berdiri di sisi kursi bis yang sudah dipesan. Memandangi anaknya. Anak sulungnya yang baru lulus SD yang akan berangkat ratusan kilometer untuk melanjutkan sekolahnya. Sudah pasti Tini berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang mau berontak keluar, sebagai sebab dari kerinduan yang akan dia alami berhari-hari setelah keberangkatan bis itu. Tapi dia masih kuat. Sementara adik-adik Irfan, si kembar Raka dan Riki yang baru kelas 2 SD, menunggu di luar sambil sekali-kali melambai ke kakaknya.
“Aa!” teriak mereka. Tapi wajah mereka tidak terlihat gembira. Mereka tahu bahwa tak sepi hari-hari mereka dengan sesekali bertengkar dengan kakaknya. Tapi membayangkan kakaknya pergi jauh bukan kabar gembira bagi mereka.
“Peluk adikmu dulu Fan,” kata Ahmad kepada Irfan. “Siap Yah,” Irfan langsung bergegas turun menemui adik-adiknya. Suami istri itu melihat Irfan begegas dan menghampiri adiknya. Ketiganya saling berpelukan. “Jangan nakal lho, nanti Aa pulang bawa oleh-oleh”, kata Irfan. “Bener ya ga boleh bohong!” kata Raka.
Sementara di atas bis Ahmad dan Tini saling menggenggam tangan yang terus makin erat sambil memperhatikan anak-anaknya saling berpelukan. Mereka tidak mendengar apa yang dibicarakan. Tapi mereka merasakan rasa kehilangan bagi masing-masing. Karena merekapun memiliki rasa itu yang kuat di hati.
“Uang segitu kira-kira cukup ga Yah,” tanya Tini. “Insya Allah lah, biaya pendaftaran benar kan segitu? Ga ada perubahan? Tapi paling bisa ayah tiga hari nganter Aa, sudah itu ayah pulang. Biar cepet bisa usaha lagi. Selanjutnya Bunda aja nanti ke pondok lagi buat nemenin Aa ujian masuk”. “Iya,” kata Tini sambil melepas genggaman di tangan suaminya, karena Irfan sudah ada di sisi kursi lagi.
Irfan mengambil posisi duduk di sisi jendela. Tidak tau apa yang ada di fikirannya. Tapi untuk sekolah di pesantren adalah memang pilihannya.
Kemudian mulai ibu Irfan, sebagaimana khasnya seorang ibu, meluncur sederet nasihat dari mulutnya. Irfan hanya menjawab ‘ya Bun”. Atau sesekali dia menjawab “Siap”.
Kemudian kondektur bis memberitahukan penumpang bahwa bis sebentar lagi akan berangkat dan keluarga yang mengantar diminta untuk turun.
“Udah ya A. Semangat ya. Bunda yakin Aa bisa. Anak Bunda hebat! Peluk Bunda!” kemudian Irfan berdiri memeluk bundanya. Ahmad sudah melihat ada buliran air yang sudah jatuh di mata istrinya. Tapi segera dihapus sebelum Irfan melihat. Tidak tau pelukan mana yang tidak mau melepaskan tapi akhirnya pelukan itu harus disudahi setelah kondektur bis sekali lagi mengingatkan. Diciumnya lagi kening anaknya kemudian mencium tangan suaminya. Dan Ahmad pun mencium kening istrinya.
“Tenang Bun, kami akan kasih kabar terus. Ya kan Fan!” Kata Ahmad minta dukungan anaknya supaya Tini jangan terlalu khawatir. Irfan hanya memberi tanda jempol. Anakku masih lugu sekali, pikir Tini, tapi tetap mengulum senyum sambil melangkah menuju pintu bis dan menghampiri Raka dan Riki.
Sopir sudah membuka pintu di sisi stir, tapi tiba-tiba Ahmad bangkit berdiri dan menuju ke pintu keluar bis. “Bentar Fan, ayah hampir lupa”.
“Bentar Pak!” Kata Ahmad kepada kondektur. Ahmad berlari menghampiri si kembar sembari senyum dikulum. “Ayah lupa.. hehehe” Sambil memeluk si kembar erat-erat. “Jaga Bunda ya! Anak ayah sholeh-sholeh kan?”
“Ya, yah,” kata mereka serempak. “Ayah lama ga?” kata Raka. “Sebentar, Jum’at insya Allah pulang” kata Ahmad sambil berlari kecil ke pintu bis yang sudah mau ditutup oleh kondektur.
Tini dan si kembar tidak berhenti melambaikan tangan. Dan dibalas juga oleh Ahmad dan Irfan. Pandangan mereka saling diusahakan tetap bertemu, hingga suatu pengkolan yang membuat mereka tak bisa lagi berpandangan.
Dan hari ini terjadi juga. Peristiwa ini mesti terjadi. Rancangan hidup yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari untuk memilihkan sekolah terbaik buat anak mereka, Ahmad dan Tini harus ikhlas merasakan jauh dari sang buah hati. Mereka harus siap menangis hari ini dan mungkin juga besok atau hari-hari selanjutnya. Tapi ada keyakinan di hati mereka bahwa tangis ini akan dibalas Allah dengan kabar gembira. Mereka yakin. Dan mereka harus yakin tentang itu.
Setelah dirasa bis sudah jauh dari pandangan, Tini mengajak si kembar pulang dengan sepeda motor maticnya. Jikalau tidak ada si kembar mungkin sudah memuncak tangis seorang ibu saat ditinggal pertama kali oleh si sulung tercinta. Tapi air mata itu tetap mengalir. Si Riki yang duduk di belakang bertanya, “Bun kenapa megangin mata terus?” “Ada debu masuk”. Kata Tini.
Sementara di bis sang ayah dan anaknya memulai petualangan Baru. “Siap Fan?”
“Siap Yah”. Dan mereka saling tersenyum.
Sepanjang perjalanan Ahmad tidak berhenti bercerita. Bercerita apapun berusaha menghibur supaya anaknya tidak terlalu sedih meninggalkan rumah, Bunda dan saudara-saudaranya. Ahmad memang tidak pernah habis tema cerita. Melihat apapun bisa menjadi cerita baik yang diselingi dengan ilmu pengetahuan umum maupun candaan. Irfan tidak tahu padahal sebenarnya ayahnya pun bergumul dalam fikirannya rasa kehilangan dengan sang jagoan. Dan di saat Irfan terlelap tertidur, entah berapa tisu yang dibuang sang ayah untuk menghapus air mata yang tidak mau kompromi.
Pikiran Ahmad kembali merefresh kenangan masa lalu. 12 tahun yang lalu, saat sang penyejuk matanya ini lahir. Saat itu ..... (Bersambung)
Comments
Post a Comment