9 Kealfaan Wali Santri yang Dapat Merusak Pendidikan Karakter Anak di Gontor
Lanjutan kemarin
...
Besar harapan
wali santri pada Gontor. Tapi kadang walaubagaimanapun Gontor membuat sistem
pendidikan yang terbukti dan teruji dibantu dengan keikhlasan para Kiai dan
Pendidik, di lapangan atau dalam kenyataan masih kita lihat sedikit yang
dinamakan oknum alumi berlaku tidak seperti yang diharapkan. Bahkan bukan Cuma alumni, santri yang masih
menjalani pendidikan juga masih ada yang berlaku melanggar sunnah-sunnah
Gontory, mohon maaf, misalnya mencuri uang, pengunaan fisik yang berlebihan
dll.
Bukan solusi dan
menjadi tidak menjadi bijak jika kita, wali santri, menjadi sibuk menyalahkan.
Bisa jadi itu memang diluar kehendak kita tapi akan lebih bijak jika lebih dulu
kita berintrospeksi, mengkoreksi diri mungkin sumber permasalahan ada pada kita.
Ini mungkin terjadi pada penulis, pada kita, wallahu a’lam.
Kealfaan wali
santri yang bisa terjadi pada kita antara lain:
1. 👉
Niat yang salah dalam memondokkan anak.
Apapun amal
dimulai dari niat. Dan amal itu tergantung niat, dan kita akan mendapat sesuai
apa yang kita niatkan. Saya yakin sebagian besar kita memiliki niat yang
benar-benar tulus dan benar dalam memasukkan anak ke pondok. Tapi tidak
dipungkiri masih ada sebagian yang sangat kecil di antara kita memiliki niat
yang kurang tulus, seperti karena anak nakal kemudian diancam ke pesantren,
atau pesantren menjadi pilihan akhir setelah nilai anaknya diduga tidak bisa
masuk sekolah favorit, atau bisa jadi ada yang berniat agar anaknya jauh dari
rumah karena dirumah sering ngeselin, atau karena orangtua terlalu sibuk maka
dipilihlah pesantren biar tidak mengganggu kesibukan orangtua. Na’udzubillahi
min dzaalik. Semoga kita terhindar dari niat itu. Jika terbetik dulu saat
memasukkan anak, belum terlambat kita meluruskan niat, dan memohon ampun kepada
Allah.
2. 👉
Kurang bersihnya harta yang kita dapatkan untuk biaya
sekolah anak
Keburukan tidak akan
tercampur dengan kebaikan. Mengharapkan hasil yang baik dari bahan baku yang
buruk adalah sia-sia. Sebab perbuatan yang tercemari dosa bisa menghapuskan
manfaat yang dimilikinya dan bisa membuat keberkahan diangkat oleh Allah. Jika keberkahan
diangkat maka jangan salahkan anak jika langkahnya bisa tergelincir.
Sebagaimana keberkahan amal itu musnah tak bersisa akibat maksiat yang
dikerjakan. Tsumma na’udzubillah.
3. 👉
Kurangnya keikhlasan dalam melepas anak
Anak kita
terlahir dari rahim ibunya. Proses kehamilan dan pengasuhan anak membuat ada
rantai imagi yang terhubung antara orangtua, terutama ibunya dengan anak. Maka
tidak aneh jika firasat ibu terhadap anak sangat tajam dan tepat. Jika seorang
Ibu senantiasa merasa nestapa saat jauh dari anak maka kontak anak yang terjadi
bisa berupa ketidakbetahan, perbuatan yang kadang salah langkah, atau hilangnya
semangat dalam menjalani rutinitas di pondok.
4. 👉
Sama sekali tidak kontak dengan anak selama di
pondok
Beberapa waktu
yang lalu beberapa kali si Bungsu menelepon, dia malu-malu menanyakan bahkan
hampir tidak diungkapkan jika tidak dipaksa, “hmmmm, mmmm kira-kira hmmm Bunda
kapan nengok?”. Sebelum telpon yang terakhir beberapa hari yang lalu kami hanya
berusaha memotivasi, memberi semangat dan pengertian bahwa kan sebentar lagi
liburan. Tapi setelah mendengar kabar ada kasus anak yang dikeluarkan akibat
mengambil uang temannya, setelah diselidiki ternyata anak itu hampir tidak
pernah dikontak oleh orangtuanya. Setelah itu pas ada telpon dari Si Bungsu
kami langsung mengambil keputusan:”Oke Nak, insya Allah Bunda minggu depan
nengok”. Walau harus ekstra nyiapin anggaran. Toh kita nyari uang kan buat
anak, hehehe.
Pembawaan setiap
anak itu beda. Ada yang kuat. Ada yang tidak terlalu kuat tapi pas diberi
pengertian dia bisa menjadi kuat. Tapi ada anak yang butuh kehadiran fisik
orangtuanya karena situasi tertentu. Ini bukan suatu bentuk kemanjaan. Tapi
inilah pembawaan anak. Kadang pas ditengok pun dia jarang bisa lama berkumpul,
tapi dijamin semangatnya akan bertambah. Input dari kita menjadi lebih bermakna
lengket di benaknya.
5. 👉
Terlalu sering dikunjungi
Kalau tidak salah
pihak pondok menyarankan anak ditengok paling cepat 2-3 bulan sekali, kecuali
yang memang membutuhkan kehadiran khusus, misalnya sakit. Jadi walau poin dua
menunjukkan pentingnya kehadiran fisik kita, tapi jika terlalu sering bisa
merusak pola pendidikan mental dan karakter Gontor, terutama kekuatan mental
saat jauh dari orangtua dan juga kemandirian.
6. 👉
Tidak menyamakan frekwensi dengan pola pendidikan
pondok
Salah satu bentuk
keberhasilan pendidikan yaitu ketika kita orangtua memiliki frekwensi yang sama
dengan pola dan filosofis tempat pendidikan anaknya. Itulah makanya sebagian
kita ketika anak digontorkan seolah-olah kita pun seperti dipesantrenkan. Pentingnya
menyamakan frekwensi agar mental dan karakter yang terbentuk di pondok tidak
menjadi mentah lagi saat anak bertemu dengan orangtuanya atau saat pulang ke
rumah.
7. 👉
Memberi bekal yang berlebihan kepada anak
Cara efektif
membentuk karakter dan menekan ego adalah dengan mengajarkan kesederhanaan.
Omong kosong jika ingin memiliki anak bermental kuat tapi jauh dari
kesederhanaan. Memberi jajajn yang berlebihan bisa merusak karakter ini. Alhamdulillah
di Gontor sudah diatur dengan memberi batasan pengambilan uang tabsis, tapi
masih aja orangtua memberi anak uang jajan tidak melalui tabsis sehingga pola
ini kemudian bisa menjadi sia-sia.
8. 👉
Mengambil alih peran anak dalam mengantri
Banyak pengajaran
dan pendidikan dalam budaya mengantri. Bahkan kita bisa menilai luhur atau
rendahnya watak budaya sesorang dengan melihatnya dalam suatu antrian. Di
Gontor hampir semuanya harus dalam antrian. Tapi banyak dari kita kadang tidak
tega melihat anak mengantri, maka sebagian kita ikut membantu, misalnya
membayar spp, antri beli kebutuhan sekolah, antri beli kasur dan lain. Padahal ini
berarti kita mengurangi proses pendidikan anak di pondok
9. 👉
Menyalahkan bahkan memarahi ustadznya anak kita
Dalam dunia
pendidikan islam, guru mempunyai posisi yang paling tinggi yang akan menentukan
keberkahan ilmu yang didapat selain restu orangtua. Keberkahan suatu ilmu akan
hilang jika hilang keridhoan seorang guru. Jika keberkahan hilang ilmu yang
segudang hampir tidak memberikan manfaat kebaikan pada sang murid. Guru anak
kita bukanlah seorang malaikat, kealfaan adalah manusiawi. Tapi jika kesalahan
guru yang tidak dimaksudkan kemudian membuat orangtua ikut turun tangan
menyalahkan, memvonis dan menghardik guru, maka bersedihlah jika Allah angkat
keberkahan ilmu yang sudah diterima anak kita. Na’udzubillahi min dzaalik.
Demikianlah,
mungkin tidak sempurna uraian diatas, bisa jadi ada salah, atau ada yang harus
ditambahkan, walsantornews.blogspot.com dengan senang hati menerima masukan dan
kritikan. Mudah-mudahan bermanfaat.
Comments
Post a Comment